Sejarah Peradaban Islam Pra Kemerdekaan

 

Photo by Birmingham Museums Trust on Unsplash

Proses masuknya agama Islam ke Indonesia menurut para sarjana dan peneliti sepakat bahwa Islam itu berjalan secara damai, meskipun ada juga penggunaan kekuatan oleh penguasa Indonesia untuk menguasai rakyat atau masyarakat. Secara umum mereka menerima Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktik keagamaan yang lama. Hal ini yang sering dilakukan oleh juru dakwah di Jawa adalah Walisongo. Mereka mengajarkan Islam dalam bentuk kompromi dengan kepercayaan-kepercayaan setempat.

Masuknya Islam ke Indonesia belum dapat diketahui dengan pasti waktu dan siapa pembawanya. Dalam bukunya L’Arabie et les Indes Neerlandaises, atau Revue de I’Histoire des Religious, Jilid I, Snouck Hurgronje, seorang orientalis agama Islam kebangsaan Belanda, mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dan dibawa oleh pedagang dari Gujarat, India. Hal ini berdasarkan bukti-bukti yang ada, yaitu Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam terdapat di Sumatra memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.

Islam di Indonesia tersebar melalui peranan para ulama, yang disebut dengan walisongo. Kesembilan wali ini menyebarkan agama Islam dengan menggunakan caranya masing-masing. Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para wali dengan ditempatkannya 5 wali. Maulana Malik Ibrahim, sebagai  wali perintis, mengambil wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah Malik Ibrahim wafat, wilayah ini dikuasai oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke utara di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu. Jawa Tengah kebagian 3 wali dalam penyebaran agama Islam. Sunan Kalijaga di Demak, Sunan Kudus di Kudus, dan Sunan Muria di daerah pegunungan Muria. Sedangkan Jawa Barat hanya didatangi oleh 1 wali, yaitu Sunan Gunung Jati yang memilih tempat dakwahnya di Cirebon.

Pemberontakan umat Islam terhadap kolonialisme selalu menghadirkan seorang pemimpin yang gagah berani, meskipun mereka tidak berlatar belakang sebagai seorang ahli perang. Pemberontakan ini diawali di Sumatera Barat pada tahun 1821-1828, yang kita kenal dengan Perang Padri. Jawa Tengah mengikuti pada tahun 1825-1830, perang ini disebut Perang Sabil yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Di daerah Barat Laut Jawa juga terjadi pemberontakan pada tahun 1840-1880 yang dilatar belakangi dari penindasan Tanam Paksa di Banten. Selanjutnya, di Aceh pada tahun 1873- 1903 yang berhasil mengacaukan imperialisme Belanda selama 30 tahun. Ada juga perlawanan dari Si Singamangaraja XII, yang juga gugur sebagai seorang muslim, yang berakhir dengan tewasnya beliau pada 17 Juni 1907. Kartini juga ikut meramaikan pemberontakan dengan pimikirannya sebagai perempuan yang melawan adat dan penjajah.

Dalam sejarah Indonesia, tokoh Islam mempunyai peran yang sangat besar dalam pencetusan proklamasi sebagai awal lahirnya sebuah negara baru yang merdeka dan berdaulat. Hal ini tidak luput dari peran Sarekat Islam (SI) sebagai satu diantara organisasi politik di Indonesia abad ke-20 yang paling menonjol. SI adalah transformasi dari Sarekat Dagang Islam (SDI), didirikan pada 11 November 1911, oleh H. Samanhudi, seorang pedagang muslim kaya di Surakarta, Jawa Tengah. Pada 1912 SDI menjadi SI dan mendapatkan pemimpin organisator baru yang kompeten, H.O.S. Tjokroaminoto (1883- 1934). A.W.F. Idenburg, Gubernur Jenderal pada tahun 1911-an, menyadari ancaman yang dibawa SI terhadap kekuasaan kolonial dan pada bulan Maret 1914, ia hanya memberikan pengakuan kepada berbagai cabang SI, tidak kepada SI sebagai satu kesatuan organisasi. Pada bulan Februari 1915 di Yogyakarta, Tjokroaminoto mencari jalan keluar sebagai solusi keputusan pemerintah tersebut dengan membentuk Centraal Sarekat Islam (CSI) dan cabang-cabang yang ada dijadikan sebagai anggota. Adanya perlawanan-perlawanan seperti tersebut di atas, dan masih banyak lagi yang lain, menandakan bahwa SI adalah organisasi yang radikal dan keras terhadap pemerintah kolonial. Sarekat Islam (SI) adalah sebuah penegasan dimana umat Islam itu harus menjadi suatu contoh bagi umat yang lain karena memang dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia diturunkan di bumi ini adalah sebagai rahmat seluruh alam.

Tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki, dan 15 Agustus Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Tanggal 17 Agustus 1945, jam 04.00 (pagi), yakni dua hari setelah Jepang menyerah kepada Kekuatan Sekutu, naskah baru Pernyataan Kemerdekaan dirumuskan dalam suatu pertemuan yang berlangsung di rumah Kolonel Maeda, perwira Angkatan Laut Jepang, Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta. Kemudian pada pukul 10.00 pagi tercetuslah proklamasi bangsa Indonesia yang ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta, yang kemudian diangkat menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia, yang secara resmi diproklamirkan oleh Soekarno. Merdeka berarti bahwa mulai pada saat itu Bangsa Indonesia telah mengambil sikap untuk menentukan sendiri nasib bangsa dan nasib tanah airnya dalam segala bidang.

Teori Masuknya Islam di Indonesia

Teori kedatangan Islam di Nusantara, terdapat beberapa pendapat di kalangan beberapa ahli. Pendapat tersebut terdapat pada tiga masalah pokok, yaitu tentang asal-muasal islam berkembang di wilayah Nusantara, pembawa dan pendakwah islam dan sejak kapan islam mulai muncul di Nusantara. Ada sejumlah teori yang membicarakan mengenai asala-muasal Islam yang berkembang di Nusantara yaitu meliputi Teori Gujarat, Teori Persia, dan Teori Arabia

Teori Gujarat

Teori ini mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab. Tokoh yang mensosialisasikan teori ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke 19. Menurutnya, orang-orang Arab bermazhab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke 7 Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia.

Teori Pijnapel ini disebarkan oleh seorang orientalis terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Menurutnya, Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India. Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di depan namanya.

Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Meski tidak menyebutkan secara eksplisit daerah mana yang pertama kali didatangi Islam tapi menurutnya abad ke-12 adalah periode paling mungkin permulaan penyebaran Islam di nusantara. Alasan Snouck Hurgronje menyebutkan teori ini adalah:

1)      Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam ke Indonesia;

2)      Hubungan dagang India –Indonesia telah lama terjalin; dan

3)      Inkripsi tertua tentang Islam terdapat di Sumatera menunjukkan hubungan antara Sumatera dan Gujarat.

Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912) yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafi’i yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.

Teori Arab

Perlu kita ketahui  bahwa Coromandel dan Malabar, menurut T. W. Arnold bukanlah satu-satunya tempat Islam dibawa ke Nusantara. Islam di Indonesia juga dibawa oleh para pedagang dari Arabia. Para pedagang Arab ini terlibat aktif dalam penyebaran Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak awal abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Asumsi ini didasarkan pada sumber-sumber China yang menyebutkan bahwa menjelang perempatan ketiga abad ke-7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatera. Bahkan, beberapa orang Arab ini telah melakukan perkawinan campur dengan penduduk pribumi yang kemudian membentuk inti sebuah komunitas Muslim yang para anggotanya telah memeluk agama Islam.

Teori Arab ini, semula dikemukakan oleh John Crawfurd yang mengatakan bahwa Islam dikenalkan pada masyarakat Nusantara langsung dari Tanah Arab, meskipun hubungan bangsa Melayu-Indonesia dengan umat Islam di pesisir Timur India juga merupakan faktor penting. Teori Arab ini, sedikit mengalami pengembangan yang mana didukung oleh Keyzer. Didasarkan pada persamaan mazhab Syafi’i yang dominan di Indonesia. Keyzer berpendapat bahwa Islam di Nusantara berasal dari Mesir. Hal senada juga dikemukakan oleh Niemann dan de Hollander, dengan sedikit revisi,yang mengatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari Handramaut. Sementara itu, P.J. Veth berpendapat bahwa hanya orang-orang Arab yang melakukan perkawinan campur dengan penduduk pribumi yang berperan dalam penyebaran Islam di pemukiman baru mereka di Nusantara.

Sejumlah ahli Indonesia dan Malaysia mendukung teori Arab ini. Dalam beberapa kali seminar yang digelar tentang Kedatangan Islam ke Indonesia yang diadakan pada tahun 1963 dan 1978, disimpulkan bahwa Islam yang datang ke Indonesia langsung dari Arab, bukan dari India. Islam datang pertama kali ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi, bukan abad ke-12 atau ke-13 Masehi.

Uka Tjandrasasmita, pakar Sejarah dan Arkeolog Islam, berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 atau ke-8 Masehi. Pada abad-abad ini, dimungkinkan orang-orang Islam dari Arab, Persia dan India sudah banyak yang berhubungan dengan orang-orang di Asia Tenggara dan Asia Timur. Kemajuan perhubungan dan pelayaran pada abad-abad tersebut sangat mungkin sebagai akibat persaingan di antara kerajaan-kerajaan besar ketika itu, yakni kerajaan Bani Umayyah di Asia Barat, kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara, dan kekuasaan China dibawah dinasti T’ang di Asia Timur.

Pendukung teori Arab lainnya adalah Syeh Muhammad Naquib al-Attas, seorang pakar Kesusasteraan Melayu dari Universiti Kebangsaan Malaysia kelahiran Indonesia. Dia mengatakan bahwa bukti paling penting yang dapat dipelajari ketika mendiskusikan kedatangan Islam dikepulauan Melayu-Indonesia adalah karakteristik internal Islam itu sendiri di kawasan ini. Dia menggagas suatu hal yang disebut sebagai teori umum Islamisasi Kepulauan Melayu-Indonesia yang umumnya didasarkan pada sejarah literatur Islam Melayu dan sejarah pandangan dunia (worldview) Melayu-Indonesia, sebagaimana yang dapat dilihat melalui perubahan konsep dan istilah kunci dalam literatur Melayu (historiografi tradisional lokal) pada abad ke-10 sampai ke-11 Hijriyah, atau abad ke-16 sampai abad ke-17 Masehi.

Buya Hamka dalam Seminar Masuknya Agama Islam ke Indonesia, di Medan pada tahun 1963 mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara terjadi pada abad ke-7 M. Buya Hamka sendiri menggunakan sumber dari Berita Cina Dinasti Tang yang menuturkan bahwa di pantai barat Sumatera telah ditemukan hunian wirausahawan Arab. Maka, Buya Hamka menyimpulkan dalam Teori Arabnya bahwa Islam masuk ke Nusantara dari daerah asalnya, yaitu Arab. Pernyataan Teori Arab dari Buya Hamka tersebut juga tertulis dalam historiografi Indonesia: Sejarah Nasional Indonesia Jilid III oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi yang mendasarkan teori pada berita China dari zaman Tang. Pada teks Xin Tang Shu (Sejarah Baru Dinasti Tang), tercatat suatu negeri di Sumatera yang berada di bawah pimpinan Ratu Sima (Xi Mo). Negeri tersebut sangat kuat sehingga mengalahkan komunitas Arab yang tinggal di sana untuk melakukan penyerangan.

Teori Arab tersebut juga diamini oleh Jajat Burhanudin yang mengatakan dalam bukunya Islam dalam Arus Sejarah Indonesia juga menuliskan beberapa keterangan tentang masuknya Islam ke Indonesia dilihat dari catatan Tionghoa. Teks tersebut merupakan bukti perkembangan perdagangan jarak jauh yang menghubungkan Sriwijaya dengan dunia muslim di Timur Tengah dan Persia hingga ke Cina di Timur sejak abad ke-7 M. Pernyataan yang berkaitan dengan masuknya Islam ke Nusantara yang menjadikan Arab sebagai negara pembawanya mengacu pada sumber dari catatan Tionghoa, yang mengatakan bahwa Islam sudah ada di Indonesia pada abad ke-7 M tepatnya di wilayah Sumatera dalam perkembangan perdagangan maritim Kerajaan Sriwijaya. Namun, sejalan dengan kelemahan yang dialami Sriwijaya pada abad ke-13, pedagang-pedagang muslim dan mubaligh-mubaligh beralih dukungannya pada kerajaan yang bercorak Islam, yaitu Samudera Pasai yang berada di pesisir timur laut Aceh.

Teori Persia

Pencetus teori Persia di Indonesia adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Pandangan teori ini tentang masuknya agama Islam ke Nusantara berbeda dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Mazhab Syafi’i-nya. Teori Persia lebih menitik beratkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia, antara lain:

a.       Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas kematian syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur Asyura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husein. Di Sumatera Tengah sebelah Barat, disebut bulan Tabut, diperingati dengan mengarak keranda Husein untuk dilemparkan ke sungai atau ke dalam perairan lainnya. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa Arab.

b.      Adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal tahun 310 H/922 M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup abad ke-16 dapat mempelajarinya.

c.       Penggunaan istilah bahasa Iran dalam pengajian quran tingkat awal dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda huruf harakah.

d.      Seni kaligrafi yang terpahat pada batu-batu nisan bercorak Islam di Nusantara seperti Nisan pada makam Malikus Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat. Tetapi sangat berbeda dengan pandangan G.E. Morrison bahwa Islam Indonesia berasal dari India Selatan yang bermazhab Syafi’i dan bukan Gujarat.

e.       Pengakuan umat Islam Indonesia terhadap Mazhab Syafi’I sebagai mazhab yang paling utama di daerah Malabar. Dalam masalah mazhab Syafi’I, P.A. Hoesein Djajadiningrat mempunyai kesamaan dengan G.E. Morrison, tetapi berbeda dengan teori Makkah dikemukakan oleh Hamka. P.A. Hoesein Djajadiningrat disatu pihak melihat salah satu budaya Islam Indonesia kemudian dikaitkan dengan kebudayaan Persia, tetapi dalam memandang Mazhab Syafi’I terhenti ke Malabar,tidak berlanjut dihubungkan dengan pusat Mazhab Syafi’I di Makkah.

 

Teori China

Teori cina merupakan teori yang menyebutkan bahwa asal mula sejarah masuknya agama islam ke Indonesia berasal dari Cina, agama Islam sendiri berkembang di Cina pada masa Dinasti Tang (618-905 Masehi). Islam masuk ke Cina sendiri dibawa oleh panglima Muslim yang bernama Saad bin Waqash yang berasal dari Madinah pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Bahkan salah satu kota di Cina pada masa itu yakni kota Kanton pernah menjadi pusat dakwah muslim di Cina.

Dalam buku Islam in China yang ditulis oleh Jean A. Berlie (2004) menyebutkan bahwa relasi antara orang-orang Islam dari Arab dengan orang-orang di China terjadi pada tahun 713 Masehi. Masuknya Islam ke Nusantara juga diyakini bersamaan dengan banyaknya migrasi orang-orang Cina muslim ke Asia Tenggara terutama wilayah nusantara yang kebanyakan memasuki wilayah Sumatera bagian selatan pada tahun 879 Masehi atau abad ke-9 Masehi.

Bukti Pendukungnya antara lain dari teori cina ini adalah banyaknya pendakwah yang berasal dari keturunan Cina yang mempunyai pengaruh besar pada masa kerajaan Demak. Seperti kita ketahui, kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.

Adapun buku sejarah yang ditulis oleh Nana Supriatna yang menyebutkan bahwa kesultanan Demak didirikan oleh Raden Patah yang merupakan putra dari Majapahit Islam ini. Bukti lainnya, Raden Patah, pendiri kesultanan tersebut, merupakan putra dari seorang muslimah asli China. Raden Patah memiliki nama China yaitu, Jin Bun. Selain itu, ada masjid tua beraksitektur China di Jawa. Teori China ini didukung oleh sejumlah ahli, di antaranya Slamet Mulyana dan Sumanto Al Qurtuby.

Teori Turki

Teori perkembangan ini diajukan oleh Martin van Bruinessan, menurutnya selain orang Arab dan Cina, orang Indonesia juga menerima Islam dari orang-orang Kurdi dari Turki. Alasan yang diajukannya adalah:

a.       Banyak Ulama Kurdi yang berperan aktif dalam dakwah Islam di Indonesia;

b.      Kitab karangan Ulama Kurdi menjadikan rujukan yang berpengaruh luas, diantaranya;

c.       Pengaruh Ulama Ibrahim al-Kuarani, seorang Ulama Turki di Indonesia melalui tarekat Syatariyah;

d.      Tradisi Barzanji popular di Indonesia.

Pada hakikatnya teori-teori tentang masuknya Islam ke Indonesia memiliki keunggulan dan keterbatasan. Tidak ada teori yang baku dan pasti. Pendapat ini disandarkan pada pendapat Prof. Dr. Azyumardi Azra “Sesungguhnya kedatangan Islam ke Indonesia datang dalam kompleksitas, yaitu tidak berasal dari satu tempat, peran kelompok tunggal, dan tidak dalam waktu yang sama.” Argumen ini menjadi dasar bagi semua orang untuk menerima semua teori-teori di atas, tapi bukan tanpa “sikap”. Idealnya kehadiran teori-teori tersebut tidak membuat stagnannya penelitian dan diskusi tentang masuknya Islam, karena masih ada ruang yang sangat luas untuk mengoreksi atau menguatkan teori-teori yang ada.

Perkembangan Wilayah Pengaruh Islam di Nusantara

Proses perkembangan wilayah pengaruh Islam Nusantara dapat dilakukan antara lain melalui beberapa jalur, sebagai berikut :

a.       Jalur Perdagangan

Islam masuk ke Indonesia salah satunya lewat dengan cara perdagangan. Para pedagang Muslim dari Arab, Gujarat, Persia yang berdatangan di wilayah Nusantara umumnya tinggal selama berbulan-bulan di pusat-pusat perdagangan. Sambil menunggu angin musim yang baik untuk berlayar kembali ke Negara asal, kesempatan itu dimanfaatkan untuk mengadakan transaksi dengan para pedagang setempat.

Pusat perdagangan di pantai atau pelabuhan merupakan terminal dan tempat penghubung dengan daerah-daerah pedalaman. Pelabuhan pada umumnya terletak di muara sungai, karenanya hubungan  dagang  dengan daerah pedalaman lebih banyak dilakukan melalui sungai. Mula-mula para pedagang hanya menyebarkan Islam pada masyarakat pelabuhan, tetapi karena transaksi dagang masyarakat pedalaman dengan masyarakat pesisir berlangsung terus menerus, maka lama kelamaan dakwah Islamiyah dapat disampaikan hingga ke wilayah masyarakat pedalaman.

Misalnya, terdapatnya pemukiman masyarakat Muslim di lokasi berdirinya pusat pemerintahan Majapahit. Indikator adanya masyarakat Muslim tersebut ditemukan komplek makam Muslim di Sentono Rejo, Troloyo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Selain makam bertulisan Arab, terdapat batu-batu nisan bertuliskan huruf Jawa berupa angka tahun (wafat) - yang tertua 1203 Caka atau 1281 M, sedangkan angka (tahun wafat) yang termuda sebagaimana tertera pada batu nisan 1533 Caka atau 1611 M.

Dan berupa angka tahun dan tulisan Arab tersebut dapat disimpulkan bahwa kehadiran pemukiman masyarakat Muslim di pusat pemerintahan Majapahit ini telah berlangsung sangat lama, selama lebih dari 300 tahun, yakni dari abad ke 14 hingga abad ke 17 M suatu bentangan waktu dimulai awal munculnya kerajaan Majapahit hingga masa kemundurannya, bahkan ketika kerajaan tersebut hilang sama sekali dalam percaturan politik di Jawa, abad ke-17 M.

b.      Jalur Dakwah

Kehadiran makam Muslim di Trowulan sebagaimana tersebut dalam angka-angka tahun wafat di atas, telah menarik perhatian tentang  kemungkinan adanya masyarakat Muslim di dekat pusat kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pusat-pusat perdagangan di pesisir Utara Jawa, yakni Gresik, Jepara, Cirebon, Banten, sejak akhir abad ke-15 M dan permulaan abad ke 16 M telah menunjukkan kegiatan keagamaan oleh para wali di Jawa, hingga kemudian lahirnya kerajaan Islam Demak. Sejak itu, perkembangan wilayah pengaruh Islam di Jawa telah dapat berperan secara politik.

Sesuai dengan ajaran agama Islam, setiap Muslim adalah “dai”. Para mubaligh, guru agama Islam mempunyai tugas khusus menyiarkan agama  Islam. Keberadaan mereka secara khusus telah mempercepat proses berkembangnya wilayah pengaruh Islam, antara lain melalui strategi mendirikan pesantren Islam. di Pulau Jawa, penyiaran agama Islam dilakukan terutama oleh para wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Strategi dakwah yang mereka terapkan telah berhasil meluaskan wilayah  pengaruh Islam ke Banjarmasin, Hitu, Ternate, Tidore, serta  Lombok.

Sultan Samudra – atas bantuan Kerajaan Demak, sebagai raja pertama kerajaan Banjarmasin masuk Islam. Ia kemudian memakai gelar Maharaja Suryanullah. Ketika Suryanullah naik tahta, beberapa daerah sekitarnya sudah mengakui kekuasaannya, yakni daerah Sambas, Batanglawai, sukadana, Kotawaringin, Sampit, Mendawi, sambangan. Adapun Lombok, menurut tradisi di Islamkan oleh Sunan Prapen, dari Giri, Gresik, Jawa Timur.

Kesultanan terbesar di Kepulauan Maluku abad ke 14-16 M adalah Kesultanan Ternate. Sejak abad ke-10 M terkenal sebagai pusat perdagangan rempah-rempah. Kapal-kapal dari Jawa, Malaka, dan Arab secara teratur berlayar ke sana. Pada awalnya, Kesultanan itu menganut animisme. Namun setelah Sultan Zainal Abidin (1486-1500 M), raja Ternate ke-19 kembali dari Giri, Gresik dan menyandang gelar Sultan, agama Islam menjadi agama resmi kerajaan.

Daerah yang agak terlambat menerima perkembangan Islam selain tempat-tempat yang disebutkan di atas adalah Sulawesi kecuali beberapa tempat seperti Buton dan Selayar, berdasarkan tradisi setempat telah menerima pengaruh Islam dari Ternate pada pertengan abad ke-16 M. Sejak Gowa-Tallo atau Makassar tampil sebagai pusat perdagagan laut, kerajaan ini menjalin hubungan yang baik dengan Ternate, suatu kerajaan pusat cengkeh, yang telah menerima Islam dari Gresik / Giri, di bawah kekuasaan Sultan Babullah, ternate mengadakan perjanjian persahabatan dengan Gowa Tallo.

Ketika ini raja Ternate berusaha mengajak penguasa Gowa Tallo untuk ikut menganut agama Islam, tetapi gagal. Baru pada waktu Datuk Ri Bandang datang ke Gowa Tallo, agama Islam masuk ke kerajaan ini. Sultan Alauddin (1591-1636 M) adalah sultan Gowa Tallo yang pertama menganut Islam pada tahun 1605 M. Dua tahun berikutnya, rakyat Gowa dan Tallo di Islamkan seperti terbukti dengan dilakukannya shalat Jumat bersama di Tallo pada 19 Rajab 1068 H atau November 1607 M.

c.       Jalur Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu dari saluran-saluran Islamisasi yang paling memudahkan. Karena ikatan perkawinan merupakan ikatan lahir batin, tempat mencari kedamaian diantara dua individu. Kedua individu yaitu suami isteri membentuk keluarga yang justru menjadi inti masyarakat. Dalam hal ini berarti membentuk masyarakat muslim.

Saluran Islamisasi melalui perkawinan yakni antara pedagang atau saudagar dengan wanitia pribumi juga merupakan bagian yang erat berjalinan dengan Islamisasi. Jalinan baik ini kadang diteruskan dengan perkawinan antara putri kaum pribumi dengan para pedagang Islam. Melalui perkawinan inilah terlahir seorang muslim.

Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin, mereka di Islamkan terlebih dahulu. Setelah mereka mempunyai kerturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya timbul kampung-kampung, daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan muslim.

d.      Jalur Kesenian

Penyebaran agama Islam dengan menggunakan sarana kesenian, disesuaikan denagan kondisi pada masanya. Saat itu kebudayaan pra Islam (pra Sejarah, klasik) masih sangat kuat dan menyebabkan para mubaligh memanfaatkan kesenian sebagai sarana syiar agama. Saluran Islamisasi melalui seni seperti seni bangunan, seni pahat atau ukir, seni tari, musik dan seni sastra.

Misalnya pada seni bangunan ini telihat pada masjid kuno Demak, Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, masjid Agung Banten, Baiturrahman di Aceh, Ternate dan sebagainya. Contoh lain dalam seni adalah dengan pertunjukan wayang, yang digemari oleh masyarakat. Melalui cerita-cerita wayang itu disisipkan ajaran agama Islam. Seni gamelan juga dapat mengundang masyarakat untuk melihat pertunjukan tersebut. Pada waktu itu masyarakat Indonesia khususnya Jawa, mereka sangat menyukai kesenian-kesenian seperti itu. Dan selanjutnya diadakan dakwah keagamaan Islam.

e.       Jalur Kultural

Maksud dengan kultural ini, penyebaran pemahaman Islam di Indonesia menggunakan media kebudayaan. Contohnya yang dilakukan oleh para wali songo di pulau Jawa. Sunan Kudus menggunakan pendekatan budaya dengan mengganti sapi atau lembu dengan kerbau untuk disembelih. Cara ini merupakan cara Sunan Kudus untuk menghormati masyarakat Hindu yang menganggap sapi atau lembu sebagai hewan suci. Lalu kemudian ada Sunan Muria berperan penting dalam mengubah tradisi sesajen yang biasa dilakukan masyarakat pada masa tersebut menjadi tradisi kenduri. Sedangkan Sunan Giri berdakwah dengan cara membuat banyak sekali mainan anak-anak seperti cublak Suweng, Jalungan, Jamuran dan lain sebagainya

Melalui jalur kultural. Awal mulanya kegiatan islamisasi selalu menghadapi benturan dengan tradisi Jawa yang banyak dipengaruhi Hindu-Budha. Setelah kerajaan Majapahit runtuh kemudian digantikan oleh kerajaan Islam. Di Jawa, Islam menyesuaikan dengan budaya lokal sedang di Sumatera adat menyesuaikan dengan Islam. Islam terus berkembang dan menyebar dari masa ke masa hingga sekarang melalui tahapan-tahapan dan jasa para mubaligh. Meskipun demikian masih terdapat perbedaan-perbedaan dalam cara ibadah disebabkan oleh faktor kultural.

f.       Saluran Tasawuf

Merupakan salah satu saluran yang penting dalam proses Islamisasi. Tasawuf termasuk kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia yang meninggalkan bukti-bukti yang jelas pada tulisantulisan antara abad ke-13 dan ke-18. hal itu bertalian langsung dengan penyebaran Islam di Indonesia. Dalam hal ini para ahli tasawuf hidup dalam kesederhanaan, mereka selalu berusaha menghayati kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama di tengah-tengah masyarakatnya. Para ahli tasawuf biasanya memiliki keahlian untuk menyembuhkan penyakit dan lain-lain.

Jalur tasawuf, yaitu proses islamisasi dengan mengajarknan teosofi dengan mengakomodir nilai-nilai budaya bahkan ajaran agama yang ada yaitu agama Hindu ke dalam ajaran Islam, dengan tentu saja terlebih dahulu dikodifikasikan dengan nilai-nilai Islam sehingga mudah dimengerti dan diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syeh Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang di abad ke-19 bahkan di abad ke-20 ini.

g.      Jalur Pendidikan

Para ulama, guru-guru agama, raja berperan besar dalam proses Islamisasi, mereka menyebarkan agama Islam melalui pendidikan yaitu dengan mendirikan pondok-pondok pesantren merupakan tempat pengajaran agama Islam bagi para santri. Pada umumnya di pondok pesantren ini diajarkan oleh guru-guru agama, kyai-kyai, atau ulama-ulama. Mereka setelah belajar ilmu-ilmu agama dari berbagai kitab-kitab, setelah keluar dari suatu pesantren itu maka akan kembali ke masing-masing kampung atau desanya untuk menjadi tokoh keagamaan, menjadi kyai yang menyelenggarakan pesantren lagi. Semakin terkenal kyai yang mengajarkan semakin terkenal pesantrennya, dan pengaruhnya akan mencapai radius yang lebih jauh lagi.

h.      Jalur Politik

Saluran Politik Pengaruh kekuasan raja sangat berperan besar dalam proses Islamisasi. Ketika seorang raja memeluk agama Islam, maka rakyat juga akan mengikuti jejak rajanya. Rakyat memiliki kepatuhan yang sangat tinggi dan raja sebagai panutan bahkan menjadi tauladan bagi rakyatnya. Misalnya di Sulawesi Selatan dan Maluku, kebanyakan rakyatnya masuk Islam setelah rajanya memeluk agama Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah ini.

Agama dan Kekuatan Politik Masa Kolonialisme

Islam di Indonesia sejak awal datangnya sudah andil dalam peranan politik dan ideologis yang sangat penting dan menentukan bagi perjalanan sejarah Indonesia. Arti politik islam di Indonesia sebagian besar merujuk pada kenyataan bahwa di dalam Islam batas antar agama dan politik sangatlah tipis. Islam sebagai Way Of Life dan agama, kandungan politik di dalamnya sudah terasa sejak awal perkembangannya.

Agama Islam telah berkembang di kepulauan Nusantara selama beberapa abad, hal ini merupakan suatu proses yang terus-menerus hingga sekarang belum selesai. Sejak awal abad ke-13, berdiri suatu kerajaan Islam di pulau Sumatera, yang disusul dengan dinasti-dinasti yang memerintah di pulau tersebut turut memeluk agama Islam, termasuk diantaranya Aceh. Kemudian, Islam memperkuat kedudukannya di Malaka yang merupakan pusat rute perdagangan Asia Tenggara sekitar abad ke 15. Dari sini Islam melebarkan sayapnya ke wilayah-wilayah Indonesia lainnya, sehingga sampai permulaan abad ke-17, secara geografis Islam telah menguasai sebagian besar kepulauan Indonesia.

Islam memasuki Indonesia melalui para pedagang muslim yang bersemangat damai. Mereka tertarik dengan perdagangan rempah-rempah di Indonesia yang memberikan banyak keuntungan. Dimulai dengan membentuk koloni-koloni dagang Islam, lalu berkembang menjadi vasal-vasal Islam yang seringkali terkenal karena kekayaan dan semangat dakwahnya yang tinggi. Hal inilah yang kemudian mendorong para aristokrat Indonesia tertarik kepada Islam, yang menyebut Islam menarik secara ekonomis dan menguntungkan secara politis. Bagi mereka, menganut Islam merupakan senjata untuk menghadapi musuh baik dari luar maupun dari dalam.

Ketika bangsa-bangsa Barat masuk ke Indonesia, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa Islam telah menjadi kekuatan politik yang harus diperhitungkan. Sebab, kebanyakan perlawanan yang dijumpai menggumpal di sekitar umat Islam. Dalam sejarah penjajahan di Indonesia, ideologi Islam memang merupakan kekuatan sosial yang besar dalam mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan asing. Baik perang besar seperti Perang Paderi dan Perang Aceh, maupun pemberontakan - pemberontakan petani seperti peristiwa Cilegon dan Cimareme, kesemuanya dipimpin oleh pemuka Islam dan dijiwai oleh ideologi Islam.

Sejarah telah membuktikan selama abad ke-19 saja, Kolonial Belanda cukup sibuk menghadapi pemberontakan-pemberontakan yang kebanyakan dilancarkan sebagai “perang sabil” atas nama Islam. Tercatat pemberontakan-pemberontakan yang terkenal pada abad ini antara lain, Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera Barat, Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah dan yang terlama adalah Perang Aceh dari tahun 1871-1912.

Kebijaksanaan Kolonial Belanda dalam menangani masalah Islam sering disebut dengan istilah “Islam Politiek”, yakni kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda dalam mengelola masalah-masalah Islam di Indonesia. Sejalan dengan usahanya untuk menguasai medan jajahan, Islam dipelajari secara ilmiah di negeri Belanda. Hal ini terbukti dengan diselenggarakannya pendidikan “Indologie” untuk mengenal lebih jauh seluk-beluk pribumi Indonesia. Melalui usaha tersebut diharapkan bisa dihasilkan pegawai-pegawai yang cakap dalam mengurus dan mengendalikan administrasi pemerintah jajahannya di Indonesia.

Di lain pihak, usaha Kolonial Belanda untuk menghilangkan pengaruh Islam secara cepat yakni melalui proses Kristenisasi. Akan tetapi usaha pemerintahan Belanda seringkali mengalami kegagalan. Kegagalan kebijaksanaan Belanda sebelum kedatangan Snouck disebabkan oleh tempat berpijaknya atau landasannya yang lemah, yakni tidak menggunakan fakta-fakta yang obyektif.

Setelah kehadiran Snouck Hurgronje, kebijaksanaan-kebijaksanan politik Belanda terhadap Islam di Indonesia mulai didasarkan pada landasan ilmiah yang mengutamakan  fakta-fakta obyektif. Analisanya tentang Islam di Indonesia, telah membuat Snouck mampu memformulasikan Politik Islamnya. Baginya, musuh kolonialisme  bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik. Walaupun begitu ia tidak menganggap sepi terhadap kenyataan bahwa Islam seringkali menimbulkan bahaya terhadap kekuatan dan kekuasaan Kolonial Belanda.

Formulasi politik Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia mencakup tiga kebijaksanaan pokok yang dalam hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1)      Pertama, memecah-belah kekuatan Islam di Indonesia melalui politik “de vide et empera” dengan sikap netral terhadap agama.

2)      Kedua, mengikis habis pengaruh Islam dengan memajukan kebudayaan Barat melalui pendidikan dan pengajaran, menuju terciptanya “asosiasi” dan “Indonesianisasi”.

3)      Ketiga, menumpas tegas munculnya doktrin dan pergerakan politik Islam, terutama yang dipengaruhi oleh ide-ide Pan Islamisme.

Kedatangan Snouck ke Indonesia telah mengukir lembaran baru bagi sejarah Kolonial Belanda dengan konsepnya yang terkenal “Splitsings Theorie”, suatu politik pemisahan antara agama dan politik dalam Islam. Keutuhan ajaran Islam dipecah-belah kepada tiga kategori yang masing-masing dihadapi secara ilmiah dan terencana untuk dilumpuhkan. Semua itu diarahkan untuk melenyapkan pengaruh Islam dari bumi Indonesia dan di atas kekalahan Islam itu akan dibangun Hindia Belanda modern dan maju di bawah naungan kerajaan Belanda.

Akan tetapi, terkotak-kotaknya umat Islam Indonesia atas hasil politik pecah-belah tersebut tidak dapat menghambat tumbuhnya kesadaran nasional Indonesia yang kemudian menjadi boomerang bagi Kolonial Belanda. Tumbuhnya kesadaran tersebut sebagai akibat dari politik westernisasi  dan munculnya renesans Islam di Indonesia karena mendapat rangsangan dan pengaruh dari kebangkitan Islam di luar negeri, khususnya Timur Tengah.

Kebangkitan Islam di Indonesia ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi Islam pada awal abad ke-20, seperti Syarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1905, Muhammadiyah tahun 1912, Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1926 dan lainnya. Organisasi-organisasi tersebut telah berupaya secara aktif menumbuhkan kesadaran nasional di kalangan umat Islam Indonesia dalam rangka mengusir penjajah. Dengan demikian kebangkitan tersebut telah membawa dampak positif bagi perjuangan kaum muslim di Indonesia, sebaliknya berakibat negatif bagi kepentingan- kepentingan Kolonial Belanda.

Selain menjembatani aspirasi masyarakat dengan negara, peran organisasi-organisasi Islam tersebut juga sebagai perekat ikatan sosial warga negara. Sumbangsih organisasi-organisasi tersebut dalam pembangunan karakter bangsa amatlah besar, serta menjadi penegas kontribusi organisasi-organisasi tersebut dalam pembangunan anak negeri.

Jika ditelusuri lebih jauh organisasi-organisasi Islam telah menanam investasi sejarah terkait dengan perannya dalam politik kebangsaan. Tahun 1905, Syarekat Dagang Islam (SDI) memberikan inspirasi munculnya organisasi lainnya, seperti Muhammadiyah tahun 1912, Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1926 dan lainnya. Pada era awal pergerakan, muncul pula sejumlah organisasi-organisasi keagamaan yang tak kalah besar kontribusinya terhadap pembangunan karakter dan nilai-nilai kebangsaan.

Dalam era kolonialisme pra kemedekaan, organisasi Sarekat Islam mengacu pada permasalahan sosial, yang bertujuan untuk memajukan perdagangan, memberikan pertolongan kepada anggota-anggota yang kesusahan, baik jasmani maupun rohani, memajukan kehidupan agama Islam, dan berjuang menuntut pemerintahan sendiri. Pergerakan Sarekat Islam lebih mementingkan rakyat banyak daripada kepentingan golongan. Sedangkan NU dan Muhammadiyah memiliki peran dalam menumbuhkan semangat kebangsaan terutama saat saat melawan kolonialisme.

Tahun 1937, tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU ikut serta berjuang melawan penjajah ikut serta berjuang melawan penjajah di garis depan. KH Mas Mansyur, Ketua Umum Muhammadiyah kala itu, memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara belanda. Demikian juga NU yang mengobarkan semangat kebangsaan melalui “Resolusi Jihad”.

Resolusi ini dikumandangkan KH Hasyim Asy’ari pada Oktober 1945 yang berisi fatwa mati syahid bagi mereka yang tewas melawan tentara sekutu. Peran kedua organisasi keagamaan tersebut melekat dalam sejarah kebangsaan negeri ini. Tak heran keduanya dipandang sebagai aset bangsa. Kedua organisasi ini juga berperan dalam membentuk nilai kebangsaan, membangun karakter anak negeri, menumbuhkan demokrasi, dan memelihara toleransi yang relatif tinggi.

Masyarakat yang mengidentikkan diri sebagai warna nahdliyin berpendapat, sumbangsih NU bagi bangsa selama ini adalah dalam membangun toleransi antar umat beragama. Sementara sebagian masyarakat yang mengidentikkan diri sebagai warga muhammadiyah memaknai peran di bidang pendidikan sebagai kontribusi terpenting organisasi itu terhadap negeri ini, selain toleransi beragama. Sedangkan politik kebangsaan menjadi jalan bagi NU dan Muhammadiyah untuk tetap memberikan peran dan komitmennya bagi pembangunan karakter bangsa.

Beberapa faktor yang menyebabkan mundurnya politik Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia , yakni:

1)      Pertama: Pendekatan empiris yang dilakukan Snouck terhadap Islam tidak lengkap dan menyeluruh. Penelitiannya hanya terbatas pada unsur-unsur Islam yang lahir pada masa Islam sedang dalam kemunduran dan kenyataan-kenyataan yang berkembang di kalangan umat Islam yang terbelakang. Terlebih lingkungan dan jamannya yang angkuh mendorong sikapnya untuk meremehkan kemampuan Islam yang dapat membawa kepada kemajuan.

2)      Kedua: Kolonial Belanda tidak menjalankan politik yang sudah digariskan oleh Snouck secara sungguh-sungguh. Sebab adanya unsur-unsur pemerintah kolonial yang tidak sepakat dengan gagasan Snouck.

Organisasi-organisasi Islam di Indonesia Pra Kemerdekaan

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa umat Islam yang ada di tanah Nusantara ini memegang peranan yang sangat penting dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan Jepang di berbagai sudut wilayah Nusantara bisa dikatakan sebagai perlawanan umat Islam terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan, penindasan, pelecehan, perendahan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pihak penjajah terhadap rakyat Nusantara. Ini juga berarti perlawanan tersebut merupakan upaya yang tidak mengenal kata menyerah dalam rangka memperjuangkan kepentingan Islam, karena Islam adalah agama yang dianut dan diyakini kebenarannya oleh hampir seluruh rakyat Nusantara ini. Karena itulah, maka pada awal-awal abad ke-20 sejarah mencatat bahwa berbagai macam organisasi-organisasi Islam lahir baik itu yang bergerak dalam bidang politik maupun sosial keagamaan. Diantara organisasi-organisasi yang lahir pada saat itu, beberapa diantaranya akan penulis paparkan nanti di bawah.

Setelah perjuangan rakyat Muslim dalam memperjuangkan Islam di Nusantara yang tidak mahu menyerahkan kedaulatannya kepada kekuasaan kolonial Belanda, sehingga dengan demikian ada sebagian daerah Nusantara yang belum bisa diduduki kepenuhnya oleh Belanda yang dalam arti kata lain yang masih merdeka yaitu Aceh. Setelah Islam sedikit kuat di bumi Nusantara ini sehingga terbentuklah beberapa organisasi Islam yang bertujuan untuk memperjuangkan Islam. Adapun beberapa organisasi tersebut antara lain adalah:

1.      Partai Syarikat Islam Indonesia

Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) adalah sebuah partai politik tertua di Indonesia, partai ini berdiri pada tahun 1911 dengan nama awalnya Syarikat Dagang Islam (SDI) di bawah pimpinan seorang tokoh Islam terkemuka Haji Samanhudi. Kemudian berubah nama menjadi Syarikat Islam (SI) yang selanjutnya dipimpin oleh Haji Umar Said Cokroaminoto yang kemudian terkenal dengan sebutan “Bapak Pergerakan Indonesia”. Syarikat Islam (SI) yang berkembang besar identik sebagai asal-usul gerakan politik di kalangan muslim Indonesia.

Dari yang semula untuk melindungi para pedagang-pedagang bumiputera yang beragama Islam dari tekanan dan persaingan dengan pedagang-pedagang Tionghoa, berkembang menjadi satu bentuk perlawanan terhadap segala ketidak adilan dan kesewenang-wenangan dari berbagai pihak terhadap golongan bumiputera. Agama Islam dalam konteks pemikiran Cokroaminoto menjadi alat pemersatu pada golongan terbesar penduduk bumiputera. Kesamaan agama dan bukan suku yang membuat semua orang tanpa terkecuali dari berbagai golongan suku, strata sosial yang tertarik untuk masuk ke dalam SI.

Lalu Syarikat Islam kemudian berubah nama lagi menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Partai Syarikat Islam Indonesia ini memiliki lapangan kerja yang sangat banyak, organisasi ini juga bergerak dalam bidang ekonomi, pendidikan dan juga sosial. Karena itu, organisasi ini mempunyai syarikat-syarikat dagang, sekolah-sekolah, madrasah-madrasah dan juga pesantren-pesantren. Adapun gerakan pemudanya diberi nama Pemuda Muslim Indonesia (PMI), pemerintahan Hindia Belanda sangat memusuhi organisasi ini sehingga banyak pemimpin-pemimpinnya yang dipenjara sampai dihukum mati.

2.      Muhammadiyah

Muhammadiyah juga salah satu organisasi yang tidak kecil yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 Hijriah/18 November 1912. Pada tanggal 20 Desember 1912, pembentukan Muhammadiyah secara resmi diumumkan dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat dan kerabat Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.  Tujuan utama dari organisasian ini adalah menegakkan dakwah islamiah dalam arti seluas-luasnya. Adapun bidang usahanya banyak yang mencangkupi bidang-bidang ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dan dakwah.

Organisasi ini juga banyak mempunyai sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, rumah-rumah sakit, balai-balai pengobatan, rumah-rumah penyantunan, surat kabar dan majalah. Gerakan wanita dalam organisasian ini dinamakan Aisyiyah, sedangkan gerakan pemuda bernama Pemuda Muhammadiyah. Gerakan kepaduannya dinamakan Hizbul Wathan (HW). Muhammadiyah bersemboyan: “sehari sehelai benang, lama-lama menjadi kain”. Dengan semboyan yang diagungagungkan inilah organisasi ini banyak yang berhasil baik dalam membagun usaha-usahanya.

3.      Al Isyad al Islamiyah

Al Isyad merupakan satu perkumpulan Islam yang didirikan di Jakarta pada tanggal 6 September 1914, selisih dua tahun setelah organisasi Muhammadiyah dideklarasikan. Organisasi ini didirikan oleh beberapa orang keturunan Arab, yaitu Ahmad Surkati, Syaikh Umar Mangqush, Said Mash’abi, Saleh Ubayd Abat dan Salim bin Alwad Bawa’i. Organisasi ini dipelopori oleh Ahmad Surkati orang Indonesia Muslim keturunan Arab. Surkati lebih bersemangat dalam melakukan gerakan pembaharuan Islam. Beserta kedua teman dekatnya, yaitu KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) dan Haji Zamzam (Perintis Persis), Ahmad Surkati berjanji untuk berdakwah tak kenal lelah dengan melakukan pembaharuan Islam. Supaya dakwah mereka lebih efektif dan efisien, mereka membagi peran. Ahmad Dahlan dan Haji Zamzam konsentrasi dalam melakukan dakwah untuk kalangan pribumi, sedangkan Surkati melakukan dakwahnya pada kumunitas keturunan Arab.

Al Isyad bergerak terutama dalam pendidikan dan dakwah. Adapun tujuan utama dari didirikan sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah Al Isyad untuk mengajarkan, mendidik rakyat agar pandai dalam berbahasa Arab sebagaimana bahasa Al-Qur’an. Tidak sedikit alumni-alumni dari sekolah ini yang berhasil dan pandai-pandai dalam bahasa Arab dan memiliki pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang ilmu-ilmu Islam, mereka banyak yang berpikiran maju dan modern.

4.      Nahdhatul Ulama

Berdirinya NU berawal dari terbentuknya komite Hijaz yang dipelopori oleh Abdul Wahab Hasbullah. Tujuan dari pembentukan komite Hijaz adalah untuk mengirim delegasi menghadiri Mukhtamar Islam di Mekkah. Setelah komite ini menetapkan delegasi yang akan diberangkatkan kesana maka kebutuhan yang selanjutnya adalah membuat lembaga atau institusi yang berhak mengirimi delegasi tersebut. Untuk itu dibentuklah sebuah organisasi baru yang disebut dengan Nahdlatul Ulama.

Nahdhatul Ulama adalah salah satu organisasi yang lahir di tanah Surabaya yang didirikan oleh K.H Abdul Wahab Hasbullah dan K.H Hasyim Asy’ari pada tanggal 31 Januari 1926. Organisasi ini diprakarsai oleh sejumlah ulama terkemuka. Lahirnya NU bisa dikatakan sebagai kebangkitan para ulama. NU didirikan untuk menampung gagasan keagamaan para ulama tradisional atau sebagai reaksi atas prestasi ideologi gerakan modernisasi Islam yang mengusung gagasan purifikan puritanisme. Pembentukan NU merupakan upaya pengorganisasian dan peran para ulama, pesantren, yang sudah ada sebelumnya. Agar wilayah kerja keulamaan lebih ditingkatkan, dikembangkan, dan diluaskan jangkauannya. Dengan kata lain, didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah bagi usaha mempersatukan langkah-langkah para ulama dan kiai pesantren.

5.      Persatuan Islam

Persatuan Islam juga biasa disebut dengan sebutan Persis, Persis ini didirikan di Bandung sekitar tahun 1926 oleh para ulama yang berpaham baru yang sering disebut dengan paham Wahaby yang dipelopori oleh Ahmad Hassan, Mohammad Munawar Cholil dan Mahmud Aziz. Di lain buku organisasi ini berawal dari perkumpulan dari para saudagar dan pedagang yang biasa disebut dengan “urang pasar” di sebuah gang yang disebut dengan Gang Pakgade.

Di gang inilah awal mulanya berdiri sebuah organisasi pembaharuan Islam yang bersemboyan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah, serta membersihkan Islam dari khurafat, bid’ah dan seluruh pemahaman yang mengotori kesakralannya. Organisasi ini didirikan pada tanggal 11 September 1923 oleh Haji Zamzam dan Haji Mohamad Yunus di Bandung. Organisasi ini sering berkecimpung dalam penerbitan buku-buku dan pendidikan lainnya.

6.      Majlis Syura Muslimin

Indonesia Masyumi didirikan pada bulan Oktober 1943 oleh para pemuka agama yang berlatar belakang ormas Islam, Masyumi ini adalah kelanjutan dari MIAI yang dihidupkan kembali oleh Jepang setelah sempat dibekukan karena takut akan kekuatan yang ditimbulkan oleh organisasi Islam. Masyumi juga merupakan sebagai lembaga politik Islam satu-satunya di Indonesia pada waktu itu. Dalam keanggotaan Masyumi, Persis merupakan anggota istimewa di samping Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Dalam berpolitik, Persis menggunakan otoritas lembaganya guna menginstruksikan pada seluruh rakyat untuk masuk ke dalam Partai Masyumi. Prinsip politik Persis adalah “Semua orang Islam hendaklah berpolitik, sebab politik adalah salah satu kewajiban agama (Islam) untuk berjuang demi kemaslahatan umat”. Adapun tujuan pokoknya yaitu mengkoordinir organisasi-organisasi Islam yang telah ada. Pihak pimpinan bala tentara Jepang menghendaki untuk membantunya dalam perang melawan sekutu, sementara oleh pihak pemimpin-pemimpin Islam digunakanlah kesempatan itu untuk mempersatukan umat secara diam-diam.

Lebih lanjut lagi dikemukakan oleh Yusril Ihza Mahendra dalam bukunya, Dinamika Tatanegara Indonesia ‘Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan Dan Sistem Kepartaian’ menyebutkan bahwa kehadiran partai politik dalam sejarah Indonesia modern awal mulanya pada awal abad ke-20 M. sejalan dengan berbagai kebijakan baru yang diberikan oleh pemerintahan Hindia Belanda yang banyak dipengaruhi oleh politik etnis dan berbagai asosiasi yang bercorak etnis, kebudayaan dan keagamaan yang bermunculan semenjak tahun 1905.

Partai-partai politik ini bermunculan setelah Gubernur Jenderal Idenburg memberikan keleluasaan kepada Serikat Islam bergerak secara lokal, karena ia mengira organisasi ini tidak akan terlibat dalam aktifitas politik. Akan tetapi partai-partai lain pun bermunculan dalam kurun 1910-1930. Seperti Indische Partij, ISDV (yang kemudian berubah menjadi Partij Komunis Hindia) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno pada tahun 1927. Semenjak 40 tahun lamanya partai-partai politik ini memberi konstribusi yang besar dalam menumbuhkan semangat nasionalisme Indonesia, walaupun partai-partai itu tumbuh dan berkembang berdasarkan ideologi politiknya yang berbeda-beda.

Seperti halnya Organisasi Sarekat Islam yang kemudian menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Islam Indonesia adalah partai-partai dengan berideologi politik Islam. PNI dan Partai Indonesia Raya (Parindra) berideologi Nasionalisme, sedangkan Partij Komunis Hindia mereka menjadi Partai Komunis Indonesia yang berideologi Komunisme. Walaupun mereka memiliki visi misi politik yang berbeda-beda, namun partai-partai ini memiliki tujuan yang satu yaitu sama-sama berjuang untuk kemerdekaan rakyat Indonesia.

Partai-partai ini menghimpun massa dalam jumlah yang tidak sedikit yang terkadang muncul sosok-sosok pemimpin politik dari kalangan bangsawan dan tokoh-tokoh agama sehingga terjadilah hubungan baik antara pemimpin dan pengikut-pengikutnya, pemimpin-pemimpin inilah yang membawa Indonesia menuju kemerdekaan pada tahun 1945. Hingga saat Indonesia merdeka peranan kaum militer belum ada. Sebagaimana telah kita ketahui militer baru terbentuk setelah Indonesia merdeka, bukan merebutnya, melainkan mempertahankan kemerdekaan.

Dari pembahasan yang dapat penulis uraikan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam yang datang ke Indonesia berasal dari berbagai tempat, ada beberapa teori untuk menyatakan awal masuknya Islam ke Indonesia, diantaranya Teori Gujarat, Arab, Persia, China, dan Turki.

Teori-teori yang ada saling menguatkan dan menyempurnakan. Misalnya teori yang menyebut Islam datang ke Indonesia pertama kali abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, dimaknai dengan sampainya individu-individu pemeluk Islam dari Arabia, Persia atau India ke Indonesia. Teori ini kemudian disempurnakan dengan teori yang menyatakan Islam datang abad ke-13 Masehi yang dimaknai dengan terdapatnya orang pribumi dalam komunitas yang besar.

Sedangkan teori yang menyatakan bahwa tanah Arab merupakan daerah asal kedatangan Islam dikuatkan teori lain bahwa dalam perjalanannya ke Indonesia terjadi peran dan pengaruh wilayah Persia dan India. Demikan juga tentang tempat pertama yang didatangi Islam yaitu Barus dan Pasai, ini dianalisa dengan perspektif bahwa Islam sampai ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Peta perdagangan menunjukkan bahwa jalur pantai sebelah timur pulau Sumatera lebih dominan dibanding jalur pantai barat dan di sisi lain pantai timur Sumatera lebih kondusif untuk dilayari.

Pada masa pra kemerdekaan, Islam juga berkembang dalam bidang politik. Hal itu dilakukan atas dasar perlunya menghimpun kekuatanu untuk mempertahankan Islam dan juga dalam upaya meraih kemerdekaan.

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama