![]() |
| Photo by Birmingham Museums Trust on Unsplash |
Proses masuknya agama Islam ke Indonesia menurut para sarjana dan
peneliti sepakat bahwa Islam itu berjalan secara damai, meskipun ada juga penggunaan
kekuatan oleh penguasa Indonesia untuk menguasai rakyat atau masyarakat. Secara
umum mereka menerima Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktik keagamaan
yang lama. Hal ini yang sering dilakukan oleh juru dakwah di Jawa adalah
Walisongo. Mereka mengajarkan Islam dalam bentuk kompromi dengan
kepercayaan-kepercayaan setempat.
Masuknya Islam ke Indonesia belum dapat diketahui dengan pasti
waktu dan siapa pembawanya. Dalam bukunya L’Arabie et les Indes
Neerlandaises, atau Revue de I’Histoire des Religious, Jilid I, Snouck
Hurgronje, seorang orientalis agama Islam kebangsaan Belanda, mengatakan
bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dan dibawa oleh pedagang
dari Gujarat, India. Hal ini berdasarkan bukti-bukti yang ada, yaitu Pertama,
kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama
Islam ke Nusantara. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin.
Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam terdapat di Sumatra memberikan gambaran
hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.
Islam di Indonesia tersebar melalui peranan para ulama, yang
disebut dengan walisongo. Kesembilan wali ini menyebarkan agama Islam dengan
menggunakan caranya masing-masing. Jawa Timur mendapat perhatian besar dari
para wali dengan ditempatkannya 5 wali. Maulana Malik Ibrahim, sebagai wali perintis, mengambil wilayah dakwahnya di
Gresik. Setelah Malik Ibrahim wafat, wilayah ini dikuasai oleh Sunan Giri.
Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke utara
di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu. Jawa Tengah kebagian 3 wali dalam
penyebaran agama Islam. Sunan Kalijaga di Demak, Sunan Kudus di Kudus, dan
Sunan Muria di daerah pegunungan Muria. Sedangkan Jawa Barat hanya didatangi
oleh 1 wali, yaitu Sunan Gunung Jati yang memilih tempat dakwahnya di Cirebon.
Pemberontakan umat Islam terhadap kolonialisme selalu menghadirkan
seorang pemimpin yang gagah berani, meskipun mereka tidak berlatar belakang
sebagai seorang ahli perang. Pemberontakan ini diawali di Sumatera Barat pada
tahun 1821-1828, yang kita kenal dengan Perang Padri. Jawa Tengah mengikuti
pada tahun 1825-1830, perang ini disebut Perang Sabil yang dipimpin oleh
Pangeran Diponegoro. Di daerah Barat Laut Jawa juga terjadi pemberontakan pada
tahun 1840-1880 yang dilatar belakangi dari penindasan Tanam Paksa di Banten.
Selanjutnya, di Aceh pada tahun 1873- 1903 yang berhasil mengacaukan
imperialisme Belanda selama 30 tahun. Ada juga perlawanan dari Si
Singamangaraja XII, yang juga gugur sebagai seorang muslim, yang berakhir
dengan tewasnya beliau pada 17 Juni 1907. Kartini juga ikut meramaikan
pemberontakan dengan pimikirannya sebagai perempuan yang melawan adat dan
penjajah.
Dalam sejarah Indonesia, tokoh Islam mempunyai peran yang sangat
besar dalam pencetusan proklamasi sebagai awal lahirnya sebuah negara baru yang
merdeka dan berdaulat. Hal ini tidak luput dari peran Sarekat Islam (SI)
sebagai satu diantara organisasi politik di Indonesia abad ke-20 yang paling
menonjol. SI adalah transformasi dari Sarekat Dagang Islam (SDI), didirikan
pada 11 November 1911, oleh H. Samanhudi, seorang pedagang muslim kaya di
Surakarta, Jawa Tengah. Pada 1912 SDI menjadi SI dan mendapatkan pemimpin
organisator baru yang kompeten, H.O.S. Tjokroaminoto (1883- 1934). A.W.F.
Idenburg, Gubernur Jenderal pada tahun 1911-an, menyadari ancaman yang dibawa
SI terhadap kekuasaan kolonial dan pada bulan Maret 1914, ia hanya memberikan
pengakuan kepada berbagai cabang SI, tidak kepada SI sebagai satu kesatuan organisasi.
Pada bulan Februari 1915 di Yogyakarta, Tjokroaminoto mencari jalan keluar
sebagai solusi keputusan pemerintah tersebut dengan membentuk Centraal Sarekat
Islam (CSI) dan cabang-cabang yang ada dijadikan sebagai anggota. Adanya
perlawanan-perlawanan seperti tersebut di atas, dan masih banyak lagi yang
lain, menandakan bahwa SI adalah organisasi yang radikal dan keras terhadap
pemerintah kolonial. Sarekat Islam (SI) adalah sebuah penegasan dimana umat
Islam itu harus menjadi suatu contoh bagi umat yang lain karena memang dalam
Al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia diturunkan di bumi ini adalah sebagai rahmat
seluruh alam.
Tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 bom atom jatuh di Hiroshima dan
Nagasaki, dan 15 Agustus Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Tanggal 17
Agustus 1945, jam 04.00 (pagi), yakni dua hari setelah Jepang menyerah kepada
Kekuatan Sekutu, naskah baru Pernyataan Kemerdekaan dirumuskan dalam suatu
pertemuan yang berlangsung di rumah Kolonel Maeda, perwira Angkatan Laut
Jepang, Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta. Kemudian pada pukul 10.00 pagi
tercetuslah proklamasi bangsa Indonesia yang ditandatangani oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta, yang kemudian diangkat menjadi presiden dan wakil presiden
Republik Indonesia, yang secara resmi diproklamirkan oleh Soekarno. Merdeka
berarti bahwa mulai pada saat itu Bangsa Indonesia telah mengambil sikap untuk
menentukan sendiri nasib bangsa dan nasib tanah airnya dalam segala bidang.
Teori Masuknya
Islam di Indonesia
Teori
kedatangan Islam di Nusantara, terdapat beberapa pendapat di kalangan beberapa
ahli. Pendapat tersebut terdapat pada tiga masalah pokok, yaitu tentang
asal-muasal islam berkembang di wilayah Nusantara, pembawa dan pendakwah islam
dan sejak kapan islam mulai muncul di Nusantara. Ada sejumlah teori yang
membicarakan mengenai asala-muasal Islam yang berkembang di Nusantara yaitu
meliputi Teori Gujarat, Teori Persia, dan Teori Arabia
Teori Gujarat
Teori ini mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia
berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak
di India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab. Tokoh yang
mensosialisasikan teori ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana
pertama yang mengemukakan teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas Leiden
pada abad ke 19. Menurutnya, orang-orang Arab bermazhab Syafi’i telah bermukim
di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke 7 Masehi), namun yang
menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab
langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke
dunia timur, termasuk Indonesia.
Teori Pijnapel ini disebarkan oleh seorang orientalis terkemuka
Belanda, Snouck Hurgronje. Menurutnya, Islam telah lebih dulu berkembang di
kota-kota pelabuhan Anak Benua India. Orang-orang Gujarat telah lebih awal
membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Dalam
pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa berikutnya.
Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad yang
menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di depan namanya.
Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka
hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Meski tidak menyebutkan secara eksplisit daerah mana yang pertama
kali didatangi Islam tapi menurutnya abad ke-12 adalah periode paling mungkin
permulaan penyebaran Islam di nusantara. Alasan Snouck Hurgronje menyebutkan
teori ini adalah:
1)
Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam
penyebaran Islam ke Indonesia;
2) Hubungan dagang India –Indonesia telah lama
terjalin; dan
3) Inkripsi tertua tentang Islam terdapat di
Sumatera menunjukkan hubungan antara Sumatera dan Gujarat.
Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912)
yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat
pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan
di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa
Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat.
Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat,
atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah
belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafi’i
yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.
Teori Arab
Perlu kita ketahui bahwa
Coromandel dan Malabar, menurut T. W. Arnold bukanlah satu-satunya tempat Islam
dibawa ke Nusantara. Islam di Indonesia juga dibawa oleh para pedagang dari
Arabia. Para pedagang Arab ini terlibat aktif dalam penyebaran Islam ketika
mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak awal abad ke-7 dan ke-8
Masehi. Asumsi ini didasarkan pada sumber-sumber China yang menyebutkan bahwa
menjelang perempatan ketiga abad ke-7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin
pemukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatera. Bahkan, beberapa orang Arab
ini telah melakukan perkawinan campur dengan penduduk pribumi yang kemudian
membentuk inti sebuah komunitas Muslim yang para anggotanya telah memeluk agama
Islam.
Teori Arab ini, semula dikemukakan oleh John Crawfurd yang
mengatakan bahwa Islam dikenalkan pada masyarakat Nusantara langsung dari Tanah
Arab, meskipun hubungan bangsa Melayu-Indonesia dengan umat Islam di pesisir
Timur India juga merupakan faktor penting. Teori Arab ini, sedikit mengalami
pengembangan yang mana didukung oleh Keyzer. Didasarkan pada persamaan mazhab
Syafi’i yang dominan di Indonesia. Keyzer berpendapat bahwa Islam di Nusantara
berasal dari Mesir. Hal senada juga dikemukakan oleh Niemann dan de Hollander,
dengan sedikit revisi,yang mengatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari
Handramaut. Sementara itu, P.J. Veth berpendapat bahwa hanya orang-orang Arab
yang melakukan perkawinan campur dengan penduduk pribumi yang berperan dalam
penyebaran Islam di pemukiman baru mereka di Nusantara.
Sejumlah ahli Indonesia dan Malaysia mendukung teori Arab ini.
Dalam beberapa kali seminar yang digelar tentang Kedatangan Islam ke Indonesia
yang diadakan pada tahun 1963 dan 1978, disimpulkan bahwa Islam yang datang ke
Indonesia langsung dari Arab, bukan dari India. Islam datang pertama kali ke
Indonesia pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi, bukan abad ke-12
atau ke-13 Masehi.
Uka Tjandrasasmita, pakar Sejarah dan Arkeolog Islam, berpendapat
bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 atau ke-8 Masehi. Pada abad-abad
ini, dimungkinkan orang-orang Islam dari Arab, Persia dan India sudah banyak
yang berhubungan dengan orang-orang di Asia Tenggara dan Asia Timur. Kemajuan
perhubungan dan pelayaran pada abad-abad tersebut sangat mungkin sebagai akibat
persaingan di antara kerajaan-kerajaan besar ketika itu, yakni kerajaan Bani
Umayyah di Asia Barat, kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara, dan kekuasaan China
dibawah dinasti T’ang di Asia Timur.
Pendukung teori Arab lainnya adalah Syeh Muhammad Naquib al-Attas,
seorang pakar Kesusasteraan Melayu dari Universiti Kebangsaan Malaysia
kelahiran Indonesia. Dia mengatakan bahwa bukti paling penting yang dapat
dipelajari ketika mendiskusikan kedatangan Islam dikepulauan Melayu-Indonesia
adalah karakteristik internal Islam itu sendiri di kawasan ini. Dia menggagas
suatu hal yang disebut sebagai teori umum Islamisasi Kepulauan Melayu-Indonesia
yang umumnya didasarkan pada sejarah literatur Islam Melayu dan sejarah
pandangan dunia (worldview) Melayu-Indonesia, sebagaimana yang dapat dilihat melalui
perubahan konsep dan istilah kunci dalam literatur Melayu (historiografi
tradisional lokal) pada abad ke-10 sampai ke-11 Hijriyah, atau abad ke-16
sampai abad ke-17 Masehi.
Buya Hamka dalam Seminar Masuknya Agama Islam ke Indonesia, di
Medan pada tahun 1963 mengatakan bahwa agama Islam masuk
ke Nusantara terjadi pada abad ke-7 M. Buya Hamka sendiri menggunakan sumber
dari Berita Cina Dinasti Tang yang menuturkan bahwa di pantai barat Sumatera
telah ditemukan hunian wirausahawan Arab. Maka, Buya Hamka menyimpulkan dalam
Teori Arabnya bahwa Islam masuk ke Nusantara dari daerah asalnya, yaitu Arab.
Pernyataan Teori Arab dari Buya Hamka tersebut juga tertulis dalam
historiografi Indonesia: Sejarah Nasional Indonesia Jilid III oleh
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, mengatakan bahwa Islam
masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi yang
mendasarkan teori pada berita China dari zaman Tang. Pada teks Xin Tang Shu
(Sejarah Baru Dinasti Tang), tercatat suatu negeri di Sumatera yang berada di
bawah pimpinan Ratu Sima (Xi Mo). Negeri tersebut sangat kuat sehingga
mengalahkan komunitas Arab yang tinggal di sana untuk melakukan penyerangan.
Teori Arab tersebut juga diamini oleh Jajat Burhanudin yang
mengatakan dalam bukunya Islam dalam Arus Sejarah Indonesia juga
menuliskan beberapa keterangan tentang masuknya Islam ke Indonesia dilihat dari
catatan Tionghoa. Teks tersebut merupakan bukti perkembangan perdagangan jarak
jauh yang menghubungkan Sriwijaya dengan dunia muslim di Timur Tengah dan
Persia hingga ke Cina di Timur sejak abad ke-7 M. Pernyataan yang berkaitan
dengan masuknya Islam ke Nusantara yang menjadikan Arab sebagai negara
pembawanya mengacu pada sumber dari catatan Tionghoa, yang mengatakan bahwa
Islam sudah ada di Indonesia pada abad ke-7 M tepatnya di wilayah Sumatera
dalam perkembangan perdagangan maritim Kerajaan Sriwijaya. Namun, sejalan
dengan kelemahan yang dialami Sriwijaya pada abad ke-13, pedagang-pedagang
muslim dan mubaligh-mubaligh beralih dukungannya pada kerajaan yang bercorak
Islam, yaitu Samudera Pasai yang berada di pesisir timur laut Aceh.
Teori Persia
Pencetus teori Persia di Indonesia adalah P.A. Hoesein
Djajadiningrat. Pandangan teori ini tentang masuknya agama Islam ke Nusantara
berbeda dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah
Gujaratnya, serta Mazhab Syafi’i-nya. Teori Persia lebih menitik beratkan
tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia
yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia, antara lain:
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai
hari peringatan Syi’ah atas kematian syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk
pembuatan bubur Asyura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan
Hasan-Husein. Di Sumatera Tengah sebelah Barat, disebut bulan Tabut,
diperingati dengan mengarak keranda Husein untuk dilemparkan ke sungai atau ke
dalam perairan lainnya. Keranda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa
Arab.
b. Adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti
Jenar dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal
tahun 310 H/922 M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi,
sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup abad ke-16 dapat
mempelajarinya.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam pengajian
quran tingkat awal dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda huruf
harakah.
d. Seni kaligrafi yang terpahat
pada batu-batu nisan bercorak Islam di Nusantara seperti Nisan pada makam Malikus Saleh (1297) dan makam
Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia
mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat. Tetapi sangat berbeda dengan
pandangan G.E. Morrison bahwa Islam Indonesia berasal dari India Selatan yang
bermazhab Syafi’i dan bukan Gujarat.
e. Pengakuan umat Islam Indonesia terhadap Mazhab
Syafi’I sebagai mazhab yang paling utama di daerah Malabar. Dalam masalah
mazhab Syafi’I, P.A. Hoesein Djajadiningrat mempunyai kesamaan dengan G.E. Morrison,
tetapi berbeda dengan teori Makkah dikemukakan oleh Hamka. P.A. Hoesein Djajadiningrat
disatu pihak melihat salah satu budaya Islam Indonesia kemudian dikaitkan
dengan kebudayaan Persia, tetapi dalam memandang Mazhab Syafi’I terhenti ke
Malabar,tidak berlanjut dihubungkan dengan pusat Mazhab Syafi’I di Makkah.
Teori China
Teori cina merupakan teori yang menyebutkan bahwa asal mula sejarah
masuknya agama islam ke Indonesia berasal dari Cina, agama Islam sendiri
berkembang di Cina pada masa Dinasti Tang (618-905 Masehi). Islam masuk ke Cina
sendiri dibawa oleh panglima Muslim yang bernama Saad bin Waqash yang berasal
dari Madinah pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Bahkan salah satu kota di
Cina pada masa itu yakni kota Kanton pernah menjadi pusat dakwah muslim di
Cina.
Dalam buku Islam in China yang ditulis oleh Jean A. Berlie
(2004) menyebutkan bahwa relasi antara orang-orang Islam dari Arab dengan
orang-orang di China terjadi pada tahun 713 Masehi. Masuknya Islam ke Nusantara
juga diyakini bersamaan dengan banyaknya migrasi orang-orang Cina muslim ke Asia
Tenggara terutama wilayah nusantara yang kebanyakan memasuki wilayah Sumatera
bagian selatan pada tahun 879 Masehi atau abad ke-9 Masehi.
Bukti
Pendukungnya antara lain dari teori cina ini adalah banyaknya pendakwah yang
berasal dari keturunan Cina yang mempunyai pengaruh besar pada masa kerajaan
Demak. Seperti kita ketahui, kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di
pulau Jawa.
Adapun buku sejarah yang ditulis oleh Nana Supriatna yang
menyebutkan bahwa kesultanan Demak didirikan oleh Raden Patah yang merupakan
putra dari Majapahit Islam ini. Bukti lainnya,
Raden Patah, pendiri kesultanan tersebut, merupakan putra dari seorang muslimah
asli China. Raden Patah memiliki nama China yaitu, Jin Bun. Selain itu, ada
masjid tua beraksitektur China di Jawa. Teori China ini didukung oleh sejumlah
ahli, di antaranya Slamet Mulyana dan Sumanto Al Qurtuby.
Teori Turki
Teori
perkembangan ini diajukan oleh Martin van Bruinessan, menurutnya selain orang
Arab dan Cina, orang Indonesia juga menerima Islam dari orang-orang Kurdi dari
Turki. Alasan yang diajukannya adalah:
a.
Banyak Ulama Kurdi yang berperan aktif dalam dakwah Islam di
Indonesia;
b.
Kitab karangan Ulama Kurdi menjadikan rujukan yang berpengaruh
luas, diantaranya;
c.
Pengaruh Ulama Ibrahim al-Kuarani, seorang Ulama Turki di Indonesia
melalui tarekat Syatariyah;
d.
Tradisi Barzanji popular di Indonesia.
Pada hakikatnya teori-teori tentang masuknya Islam ke Indonesia
memiliki keunggulan dan keterbatasan. Tidak ada teori yang baku dan pasti.
Pendapat ini disandarkan pada pendapat Prof. Dr. Azyumardi Azra “Sesungguhnya
kedatangan Islam ke Indonesia datang dalam kompleksitas, yaitu tidak berasal
dari satu tempat, peran kelompok tunggal, dan tidak dalam waktu yang sama.”
Argumen ini menjadi dasar bagi semua orang untuk menerima semua teori-teori di
atas, tapi bukan tanpa “sikap”. Idealnya kehadiran teori-teori tersebut tidak
membuat stagnannya penelitian dan diskusi tentang masuknya Islam, karena masih
ada ruang yang sangat luas untuk mengoreksi atau menguatkan teori-teori yang
ada.
Perkembangan Wilayah Pengaruh Islam di Nusantara
Proses
perkembangan wilayah pengaruh Islam Nusantara dapat dilakukan antara lain
melalui beberapa jalur, sebagai berikut :
a.
Jalur Perdagangan
Islam
masuk ke Indonesia salah satunya lewat dengan cara perdagangan. Para pedagang
Muslim dari Arab, Gujarat, Persia yang berdatangan di wilayah Nusantara umumnya
tinggal selama berbulan-bulan di pusat-pusat perdagangan. Sambil menunggu
angin musim yang baik untuk berlayar kembali
ke Negara asal, kesempatan itu dimanfaatkan untuk mengadakan transaksi dengan
para pedagang setempat.
Pusat perdagangan di pantai atau pelabuhan merupakan terminal dan
tempat penghubung dengan daerah-daerah pedalaman. Pelabuhan pada umumnya
terletak di muara sungai, karenanya hubungan
dagang dengan daerah pedalaman lebih banyak dilakukan
melalui sungai. Mula-mula para pedagang hanya menyebarkan Islam pada masyarakat
pelabuhan, tetapi karena transaksi dagang masyarakat pedalaman dengan masyarakat pesisir berlangsung
terus menerus, maka lama kelamaan dakwah Islamiyah dapat disampaikan hingga ke
wilayah masyarakat pedalaman.
Misalnya, terdapatnya pemukiman masyarakat Muslim di lokasi
berdirinya pusat pemerintahan Majapahit. Indikator adanya masyarakat Muslim
tersebut ditemukan komplek makam Muslim di Sentono Rejo, Troloyo, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Selain makam bertulisan Arab, terdapat
batu-batu nisan bertuliskan huruf Jawa berupa angka tahun (wafat) - yang tertua 1203 Caka atau 1281 M, sedangkan angka (tahun wafat)
yang termuda sebagaimana tertera pada batu nisan 1533 Caka atau 1611 M.
Dan berupa angka tahun dan tulisan Arab tersebut dapat disimpulkan
bahwa kehadiran pemukiman masyarakat Muslim di pusat pemerintahan Majapahit ini
telah berlangsung sangat lama, selama lebih dari 300 tahun, yakni dari abad ke 14 hingga abad ke 17 M – suatu bentangan waktu dimulai awal
munculnya kerajaan Majapahit hingga masa kemundurannya, bahkan ketika kerajaan
tersebut hilang sama sekali dalam percaturan politik di Jawa, abad ke-17 M.
b.
Jalur Dakwah
Kehadiran
makam Muslim di Trowulan sebagaimana tersebut dalam angka-angka tahun wafat di
atas, telah menarik perhatian tentang
kemungkinan adanya masyarakat
Muslim di dekat pusat kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pusat-pusat perdagangan di
pesisir Utara Jawa, yakni Gresik, Jepara, Cirebon, Banten, sejak akhir abad
ke-15 M dan permulaan abad ke 16 M telah menunjukkan kegiatan keagamaan oleh
para wali di Jawa, hingga kemudian lahirnya kerajaan Islam Demak. Sejak itu, perkembangan
wilayah pengaruh Islam di Jawa telah dapat berperan secara politik.
Sesuai
dengan ajaran agama Islam, setiap Muslim adalah “dai”. Para mubaligh, guru
agama Islam mempunyai tugas khusus menyiarkan agama Islam. Keberadaan mereka secara khusus telah
mempercepat proses berkembangnya wilayah pengaruh Islam, antara lain melalui strategi
mendirikan pesantren Islam. di Pulau Jawa, penyiaran agama Islam
dilakukan terutama oleh para wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo.
Strategi dakwah yang mereka terapkan telah berhasil meluaskan wilayah pengaruh Islam
ke Banjarmasin, Hitu, Ternate, Tidore, serta Lombok.
Sultan
Samudra – atas bantuan Kerajaan Demak, sebagai raja pertama kerajaan
Banjarmasin masuk Islam. Ia kemudian memakai gelar Maharaja Suryanullah. Ketika
Suryanullah naik tahta, beberapa daerah sekitarnya sudah mengakui kekuasaannya,
yakni daerah Sambas, Batanglawai, sukadana, Kotawaringin, Sampit, Mendawi, sambangan.
Adapun Lombok, menurut tradisi di Islamkan oleh Sunan Prapen, dari Giri,
Gresik, Jawa Timur.
Kesultanan
terbesar di Kepulauan Maluku abad ke 14-16 M adalah Kesultanan Ternate. Sejak
abad ke-10 M terkenal sebagai pusat perdagangan rempah-rempah. Kapal-kapal dari
Jawa, Malaka, dan Arab secara teratur berlayar ke sana. Pada awalnya,
Kesultanan itu menganut animisme. Namun setelah Sultan Zainal Abidin (1486-1500
M), raja Ternate ke-19 kembali dari Giri, Gresik dan menyandang gelar Sultan,
agama Islam menjadi agama resmi kerajaan.
Daerah
yang agak terlambat menerima perkembangan Islam selain tempat-tempat yang
disebutkan di atas adalah Sulawesi kecuali beberapa tempat seperti
Buton dan Selayar,
berdasarkan tradisi setempat
telah menerima pengaruh Islam dari Ternate
pada pertengan abad
ke-16 M. Sejak
Gowa-Tallo
atau Makassar tampil sebagai pusat perdagagan laut, kerajaan ini
menjalin hubungan yang baik dengan Ternate,
suatu kerajaan pusat cengkeh, yang telah
menerima Islam dari Gresik / Giri, di bawah kekuasaan Sultan Babullah, ternate mengadakan perjanjian persahabatan
dengan Gowa Tallo.
Ketika ini raja Ternate berusaha mengajak penguasa Gowa Tallo untuk
ikut menganut agama Islam, tetapi gagal. Baru pada waktu Datuk Ri Bandang datang ke
Gowa Tallo, agama Islam masuk
ke kerajaan ini.
Sultan Alauddin (1591-1636 M) adalah sultan Gowa
Tallo yang pertama menganut Islam pada tahun 1605 M. Dua tahun berikutnya,
rakyat Gowa dan Tallo di Islamkan seperti terbukti dengan dilakukannya shalat
Jumat bersama di Tallo pada 19 Rajab 1068 H atau November 1607 M.
c.
Jalur Perkawinan
Perkawinan
merupakan salah satu dari saluran-saluran Islamisasi yang paling memudahkan.
Karena ikatan perkawinan merupakan ikatan lahir batin, tempat mencari kedamaian
diantara dua individu. Kedua individu yaitu suami isteri membentuk keluarga
yang justru menjadi inti masyarakat. Dalam hal ini berarti membentuk masyarakat
muslim.
Saluran Islamisasi melalui perkawinan yakni antara pedagang atau
saudagar dengan wanitia pribumi juga merupakan bagian yang erat berjalinan
dengan Islamisasi. Jalinan baik ini kadang diteruskan dengan perkawinan antara
putri kaum pribumi dengan para pedagang Islam. Melalui perkawinan inilah
terlahir seorang muslim.
Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status sosial
yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi,
terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar
itu. Sebelum kawin, mereka di Islamkan terlebih dahulu. Setelah mereka
mempunyai kerturunan, lingkungan mereka makin luas. Akhirnya timbul
kampung-kampung, daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan muslim.
d.
Jalur Kesenian
Penyebaran
agama Islam dengan menggunakan sarana kesenian, disesuaikan denagan kondisi
pada masanya. Saat itu kebudayaan pra Islam (pra Sejarah, klasik) masih sangat
kuat dan menyebabkan para mubaligh memanfaatkan kesenian sebagai sarana syiar agama.
Saluran Islamisasi melalui seni seperti seni bangunan, seni pahat atau ukir, seni
tari, musik dan seni sastra.
Misalnya pada seni bangunan ini telihat pada masjid kuno Demak,
Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, masjid Agung Banten, Baiturrahman di
Aceh, Ternate dan sebagainya. Contoh lain dalam seni adalah dengan pertunjukan
wayang, yang digemari oleh masyarakat. Melalui cerita-cerita wayang itu
disisipkan ajaran agama Islam. Seni gamelan juga dapat mengundang masyarakat
untuk melihat pertunjukan tersebut. Pada waktu itu masyarakat Indonesia
khususnya Jawa, mereka sangat menyukai kesenian-kesenian seperti itu. Dan selanjutnya
diadakan dakwah keagamaan Islam.
e.
Jalur Kultural
Maksud dengan kultural ini, penyebaran
pemahaman Islam di Indonesia menggunakan media kebudayaan. Contohnya yang
dilakukan oleh para wali songo di pulau Jawa. Sunan Kudus menggunakan pendekatan budaya dengan mengganti
sapi atau lembu dengan kerbau untuk disembelih. Cara ini merupakan cara Sunan
Kudus untuk menghormati masyarakat Hindu yang menganggap sapi atau lembu
sebagai hewan suci. Lalu kemudian ada Sunan Muria berperan penting dalam
mengubah tradisi sesajen yang biasa dilakukan masyarakat pada masa tersebut
menjadi tradisi kenduri. Sedangkan Sunan Giri berdakwah dengan cara
membuat banyak sekali mainan anak-anak seperti cublak Suweng, Jalungan, Jamuran
dan lain sebagainya
Melalui jalur kultural. Awal mulanya kegiatan
islamisasi selalu menghadapi benturan dengan tradisi Jawa yang banyak
dipengaruhi Hindu-Budha. Setelah kerajaan Majapahit runtuh kemudian digantikan
oleh kerajaan Islam. Di Jawa, Islam menyesuaikan dengan budaya lokal sedang di
Sumatera adat menyesuaikan dengan Islam. Islam terus berkembang dan menyebar
dari masa ke masa hingga sekarang melalui tahapan-tahapan dan jasa para
mubaligh. Meskipun demikian masih terdapat perbedaan-perbedaan dalam cara
ibadah disebabkan oleh faktor kultural.
f.
Saluran Tasawuf
Merupakan
salah satu saluran yang penting dalam proses Islamisasi. Tasawuf termasuk
kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia yang
meninggalkan bukti-bukti yang jelas pada tulisantulisan antara abad ke-13 dan
ke-18. hal itu bertalian langsung dengan penyebaran Islam di Indonesia. Dalam
hal ini para ahli tasawuf hidup dalam kesederhanaan, mereka selalu berusaha
menghayati kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama di tengah-tengah
masyarakatnya. Para ahli tasawuf biasanya memiliki keahlian untuk menyembuhkan
penyakit dan lain-lain.
Jalur tasawuf, yaitu proses islamisasi dengan mengajarknan teosofi
dengan mengakomodir nilai-nilai budaya bahkan ajaran agama yang ada yaitu agama
Hindu ke dalam ajaran Islam, dengan tentu saja terlebih dahulu dikodifikasikan
dengan nilai-nilai Islam sehingga mudah dimengerti dan diterima. Diantara
ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung persamaan dengan alam
pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah Hamzah Fansuri di Aceh, Syeh Lemah
Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti ini masih berkembang
di abad ke-19 bahkan di abad ke-20 ini.
g.
Jalur Pendidikan
Para
ulama, guru-guru agama, raja berperan besar dalam proses Islamisasi, mereka
menyebarkan agama Islam melalui pendidikan yaitu dengan mendirikan
pondok-pondok pesantren merupakan tempat pengajaran agama Islam bagi para
santri. Pada umumnya di pondok pesantren ini diajarkan oleh guru-guru agama,
kyai-kyai, atau ulama-ulama. Mereka setelah belajar ilmu-ilmu agama dari
berbagai kitab-kitab, setelah keluar dari suatu pesantren itu maka akan kembali
ke masing-masing kampung atau desanya untuk menjadi tokoh keagamaan, menjadi
kyai yang menyelenggarakan pesantren lagi. Semakin terkenal kyai yang
mengajarkan semakin terkenal pesantrennya, dan pengaruhnya akan mencapai radius
yang lebih jauh lagi.
h.
Jalur Politik
Saluran
Politik Pengaruh kekuasan raja sangat berperan besar dalam proses Islamisasi.
Ketika seorang raja memeluk agama Islam, maka rakyat juga akan mengikuti jejak
rajanya. Rakyat memiliki kepatuhan yang sangat tinggi dan raja sebagai panutan
bahkan menjadi tauladan bagi rakyatnya. Misalnya di Sulawesi Selatan dan
Maluku, kebanyakan rakyatnya masuk Islam setelah rajanya memeluk agama Islam
terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di
daerah ini.
Agama dan Kekuatan Politik Masa Kolonialisme
Islam di Indonesia sejak awal datangnya sudah andil dalam peranan
politik dan ideologis yang sangat penting dan menentukan bagi perjalanan
sejarah Indonesia. Arti politik islam di Indonesia sebagian besar merujuk pada
kenyataan bahwa di dalam Islam batas antar agama dan politik sangatlah tipis.
Islam sebagai Way Of Life dan agama, kandungan politik di dalamnya sudah terasa
sejak awal perkembangannya.
Agama Islam telah berkembang di kepulauan Nusantara selama beberapa
abad, hal ini merupakan suatu proses yang terus-menerus hingga sekarang belum
selesai. Sejak awal abad ke-13, berdiri suatu kerajaan Islam di pulau Sumatera,
yang disusul dengan dinasti-dinasti yang memerintah di pulau tersebut turut
memeluk agama Islam, termasuk diantaranya Aceh. Kemudian, Islam memperkuat
kedudukannya di Malaka yang merupakan pusat rute perdagangan Asia Tenggara
sekitar abad ke 15. Dari sini Islam melebarkan sayapnya ke wilayah-wilayah
Indonesia lainnya, sehingga sampai permulaan abad ke-17, secara geografis Islam
telah menguasai sebagian besar kepulauan Indonesia.
Islam memasuki Indonesia melalui para pedagang muslim yang
bersemangat damai. Mereka tertarik dengan perdagangan rempah-rempah di
Indonesia yang memberikan banyak keuntungan. Dimulai dengan membentuk koloni-koloni
dagang Islam, lalu berkembang menjadi vasal-vasal Islam yang seringkali
terkenal karena kekayaan dan semangat dakwahnya yang tinggi. Hal inilah yang
kemudian mendorong para aristokrat Indonesia tertarik kepada Islam, yang
menyebut Islam menarik secara ekonomis dan menguntungkan secara politis. Bagi
mereka, menganut Islam merupakan senjata untuk menghadapi musuh baik dari luar
maupun dari dalam.
Ketika bangsa-bangsa Barat masuk ke Indonesia, mereka harus
menghadapi kenyataan bahwa Islam telah menjadi kekuatan politik yang harus
diperhitungkan. Sebab, kebanyakan perlawanan yang dijumpai menggumpal di
sekitar umat Islam. Dalam sejarah penjajahan di Indonesia, ideologi Islam
memang merupakan kekuatan sosial yang besar dalam mengadakan perlawanan
terhadap kekuasaan asing. Baik perang besar seperti Perang Paderi dan Perang
Aceh, maupun pemberontakan - pemberontakan petani seperti peristiwa Cilegon dan
Cimareme, kesemuanya dipimpin oleh pemuka Islam dan dijiwai oleh ideologi
Islam.
Sejarah telah membuktikan selama abad ke-19 saja, Kolonial Belanda
cukup sibuk menghadapi pemberontakan-pemberontakan yang kebanyakan dilancarkan
sebagai “perang sabil” atas nama Islam. Tercatat pemberontakan-pemberontakan
yang terkenal pada abad ini antara lain, Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera
Barat, Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah dan yang terlama adalah
Perang Aceh dari tahun 1871-1912.
Kebijaksanaan Kolonial Belanda dalam menangani masalah Islam sering
disebut dengan istilah “Islam Politiek”, yakni kebijaksanaan pemerintah Hindia
Belanda dalam mengelola masalah-masalah Islam di Indonesia. Sejalan dengan
usahanya untuk menguasai medan jajahan, Islam dipelajari secara ilmiah di
negeri Belanda. Hal ini terbukti dengan diselenggarakannya pendidikan
“Indologie” untuk mengenal lebih jauh seluk-beluk pribumi Indonesia. Melalui
usaha tersebut diharapkan bisa dihasilkan pegawai-pegawai yang cakap dalam
mengurus dan mengendalikan administrasi pemerintah jajahannya di Indonesia.
Di lain pihak, usaha Kolonial Belanda untuk menghilangkan pengaruh
Islam secara cepat yakni melalui proses Kristenisasi. Akan tetapi usaha
pemerintahan Belanda seringkali mengalami kegagalan. Kegagalan kebijaksanaan
Belanda sebelum kedatangan Snouck disebabkan oleh tempat berpijaknya atau
landasannya yang lemah, yakni tidak menggunakan fakta-fakta yang obyektif.
Setelah kehadiran Snouck Hurgronje, kebijaksanaan-kebijaksanan
politik Belanda terhadap Islam di Indonesia mulai didasarkan pada landasan
ilmiah yang mengutamakan fakta-fakta
obyektif. Analisanya tentang Islam di Indonesia, telah membuat Snouck mampu
memformulasikan Politik Islamnya. Baginya, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam
sebagai doktrin politik. Walaupun begitu ia tidak menganggap sepi terhadap
kenyataan bahwa Islam seringkali menimbulkan bahaya terhadap kekuatan dan
kekuasaan Kolonial Belanda.
Formulasi politik Kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia
mencakup tiga kebijaksanaan pokok yang dalam hal ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1) Pertama, memecah-belah kekuatan Islam di
Indonesia melalui politik “de vide et empera” dengan sikap netral
terhadap agama.
2) Kedua, mengikis habis pengaruh Islam dengan
memajukan kebudayaan Barat melalui pendidikan dan pengajaran, menuju
terciptanya “asosiasi” dan “Indonesianisasi”.
3)
Ketiga, menumpas tegas munculnya doktrin dan pergerakan
politik Islam, terutama yang dipengaruhi oleh ide-ide Pan Islamisme.
Kedatangan Snouck ke Indonesia telah mengukir lembaran baru bagi
sejarah Kolonial Belanda dengan konsepnya yang terkenal “Splitsings Theorie”,
suatu politik pemisahan antara agama dan politik dalam Islam. Keutuhan ajaran
Islam dipecah-belah kepada tiga kategori yang masing-masing dihadapi secara
ilmiah dan terencana untuk dilumpuhkan. Semua itu diarahkan untuk melenyapkan
pengaruh Islam dari bumi Indonesia dan di atas kekalahan Islam itu akan
dibangun Hindia Belanda modern dan maju di bawah naungan kerajaan Belanda.
Akan tetapi, terkotak-kotaknya umat Islam Indonesia atas hasil
politik pecah-belah tersebut tidak dapat menghambat tumbuhnya kesadaran
nasional Indonesia yang kemudian menjadi boomerang bagi Kolonial Belanda.
Tumbuhnya kesadaran tersebut sebagai akibat dari politik westernisasi dan munculnya renesans Islam di Indonesia
karena mendapat rangsangan dan pengaruh dari kebangkitan Islam di luar negeri,
khususnya Timur Tengah.
Kebangkitan Islam di Indonesia ditandai dengan munculnya
organisasi-organisasi Islam pada awal abad ke-20, seperti Syarekat Dagang Islam
(SDI) tahun 1905, Muhammadiyah tahun 1912, Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1926 dan
lainnya. Organisasi-organisasi tersebut telah berupaya secara aktif menumbuhkan
kesadaran nasional di kalangan umat Islam Indonesia dalam rangka mengusir
penjajah. Dengan demikian kebangkitan tersebut telah membawa dampak positif
bagi perjuangan kaum muslim di Indonesia, sebaliknya berakibat negatif bagi
kepentingan- kepentingan Kolonial Belanda.
Selain menjembatani aspirasi masyarakat dengan negara, peran organisasi-organisasi
Islam tersebut juga sebagai perekat ikatan sosial warga negara. Sumbangsih
organisasi-organisasi tersebut dalam pembangunan karakter bangsa amatlah besar,
serta menjadi penegas kontribusi organisasi-organisasi tersebut dalam
pembangunan anak negeri.
Jika ditelusuri lebih jauh organisasi-organisasi Islam telah
menanam investasi sejarah terkait dengan perannya dalam politik kebangsaan.
Tahun 1905, Syarekat Dagang Islam (SDI) memberikan inspirasi munculnya
organisasi lainnya, seperti Muhammadiyah tahun 1912, Nahdlatul Ulama (NU) tahun
1926 dan lainnya. Pada era awal pergerakan, muncul pula sejumlah
organisasi-organisasi keagamaan yang tak kalah besar kontribusinya terhadap
pembangunan karakter dan nilai-nilai kebangsaan.
Dalam era kolonialisme pra kemedekaan, organisasi Sarekat Islam
mengacu pada permasalahan sosial, yang bertujuan untuk memajukan perdagangan,
memberikan pertolongan kepada anggota-anggota yang kesusahan, baik jasmani
maupun rohani, memajukan kehidupan agama Islam, dan berjuang menuntut
pemerintahan sendiri. Pergerakan Sarekat Islam lebih mementingkan rakyat banyak
daripada kepentingan golongan. Sedangkan NU dan Muhammadiyah memiliki peran
dalam menumbuhkan semangat kebangsaan terutama saat saat melawan kolonialisme.
Tahun 1937, tokoh-tokoh Muhammadiyah dan NU ikut serta berjuang
melawan penjajah ikut serta berjuang melawan penjajah di garis depan. KH Mas
Mansyur, Ketua Umum Muhammadiyah kala itu, memberikan semangat kepada barisan
pemuda untuk melawan kedatangan tentara belanda. Demikian juga NU yang
mengobarkan semangat kebangsaan melalui “Resolusi Jihad”.
Resolusi ini dikumandangkan KH Hasyim Asy’ari pada Oktober 1945
yang berisi fatwa mati syahid bagi mereka yang tewas melawan tentara sekutu.
Peran kedua organisasi keagamaan tersebut melekat dalam sejarah kebangsaan
negeri ini. Tak heran keduanya dipandang sebagai aset bangsa. Kedua organisasi
ini juga berperan dalam membentuk nilai kebangsaan, membangun karakter anak
negeri, menumbuhkan demokrasi, dan memelihara toleransi yang relatif tinggi.
Masyarakat yang mengidentikkan diri sebagai warna nahdliyin berpendapat,
sumbangsih NU bagi bangsa selama ini adalah dalam membangun toleransi antar
umat beragama. Sementara sebagian masyarakat yang mengidentikkan diri sebagai
warga muhammadiyah memaknai peran di bidang pendidikan sebagai kontribusi
terpenting organisasi itu terhadap negeri ini, selain toleransi beragama.
Sedangkan politik kebangsaan menjadi jalan bagi NU dan Muhammadiyah untuk tetap
memberikan peran dan komitmennya bagi pembangunan karakter bangsa.
Beberapa faktor yang menyebabkan mundurnya politik Kolonial Belanda
terhadap Islam di Indonesia , yakni:
1) Pertama: Pendekatan empiris yang dilakukan
Snouck terhadap Islam tidak lengkap dan menyeluruh. Penelitiannya hanya
terbatas pada unsur-unsur Islam yang lahir pada masa Islam sedang dalam
kemunduran dan kenyataan-kenyataan yang berkembang di kalangan umat Islam yang
terbelakang. Terlebih lingkungan dan jamannya yang angkuh mendorong sikapnya
untuk meremehkan kemampuan Islam yang dapat membawa kepada kemajuan.
2) Kedua: Kolonial Belanda tidak menjalankan
politik yang sudah digariskan oleh Snouck secara sungguh-sungguh. Sebab adanya
unsur-unsur pemerintah kolonial yang tidak sepakat dengan gagasan Snouck.
Organisasi-organisasi
Islam di Indonesia Pra Kemerdekaan
Tidak
dapat dipungkiri lagi bahwa umat Islam yang ada di tanah Nusantara ini memegang
peranan yang sangat penting dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia
yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Perlawanan terhadap
penjajahan Belanda dan Jepang di berbagai sudut wilayah Nusantara bisa
dikatakan sebagai perlawanan umat Islam terhadap bentuk-bentuk ketidakadilan,
penindasan, pelecehan, perendahan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh
pihak penjajah terhadap rakyat Nusantara. Ini juga berarti perlawanan tersebut
merupakan upaya yang tidak mengenal kata menyerah dalam rangka memperjuangkan
kepentingan Islam, karena Islam adalah agama yang dianut dan diyakini
kebenarannya oleh hampir seluruh rakyat Nusantara ini. Karena itulah, maka pada
awal-awal abad ke-20 sejarah mencatat bahwa berbagai macam
organisasi-organisasi Islam lahir baik itu yang bergerak dalam bidang politik
maupun sosial keagamaan. Diantara organisasi-organisasi yang lahir pada saat
itu, beberapa diantaranya akan penulis paparkan nanti di bawah.
Setelah perjuangan rakyat Muslim dalam memperjuangkan Islam di
Nusantara yang tidak mahu menyerahkan kedaulatannya kepada kekuasaan kolonial
Belanda, sehingga dengan demikian ada sebagian daerah Nusantara yang belum bisa
diduduki kepenuhnya oleh Belanda yang dalam arti kata lain yang masih merdeka
yaitu Aceh. Setelah Islam sedikit kuat di bumi Nusantara ini sehingga
terbentuklah beberapa organisasi Islam yang bertujuan untuk memperjuangkan
Islam. Adapun beberapa organisasi tersebut antara lain adalah:
1.
Partai Syarikat Islam Indonesia
Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII) adalah sebuah partai politik tertua di
Indonesia, partai ini berdiri pada tahun 1911 dengan nama awalnya Syarikat
Dagang Islam (SDI) di bawah pimpinan seorang tokoh Islam terkemuka Haji
Samanhudi. Kemudian berubah nama menjadi Syarikat Islam (SI) yang selanjutnya
dipimpin oleh Haji Umar Said Cokroaminoto yang kemudian terkenal dengan sebutan
“Bapak Pergerakan Indonesia”. Syarikat Islam (SI) yang berkembang besar identik
sebagai asal-usul gerakan politik di kalangan muslim Indonesia.
Dari yang semula untuk melindungi para pedagang-pedagang bumiputera
yang beragama Islam dari tekanan dan persaingan dengan pedagang-pedagang
Tionghoa, berkembang menjadi satu bentuk perlawanan terhadap segala ketidak
adilan dan kesewenang-wenangan dari berbagai pihak terhadap golongan bumiputera.
Agama Islam dalam konteks pemikiran Cokroaminoto menjadi alat pemersatu pada
golongan terbesar penduduk bumiputera. Kesamaan agama dan bukan suku yang
membuat semua orang tanpa terkecuali dari berbagai golongan suku, strata sosial
yang tertarik untuk masuk ke dalam SI.
Lalu Syarikat Islam kemudian berubah nama lagi menjadi Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII). Partai Syarikat Islam Indonesia ini memiliki
lapangan kerja yang sangat banyak, organisasi ini juga bergerak dalam bidang
ekonomi, pendidikan dan juga sosial. Karena itu, organisasi ini mempunyai
syarikat-syarikat dagang, sekolah-sekolah, madrasah-madrasah dan juga
pesantren-pesantren. Adapun gerakan pemudanya diberi nama Pemuda Muslim
Indonesia (PMI), pemerintahan Hindia Belanda sangat memusuhi organisasi ini
sehingga banyak pemimpin-pemimpinnya yang dipenjara sampai dihukum mati.
2.
Muhammadiyah
Muhammadiyah
juga salah satu organisasi yang tidak kecil yang dimiliki oleh rakyat
Indonesia. Organisasi ini didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya
pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 Hijriah/18 November 1912. Pada tanggal 20
Desember 1912, pembentukan Muhammadiyah secara resmi diumumkan dalam suatu
pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat dan kerabat Keraton
Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
Tujuan utama dari organisasian ini adalah menegakkan dakwah islamiah
dalam arti seluas-luasnya. Adapun bidang usahanya banyak yang mencangkupi
bidang-bidang ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dan dakwah.
Organisasi ini juga banyak mempunyai sekolah-sekolah,
madrasah-madrasah, rumah-rumah sakit, balai-balai pengobatan, rumah-rumah
penyantunan, surat kabar dan majalah. Gerakan wanita dalam organisasian ini
dinamakan Aisyiyah, sedangkan gerakan pemuda bernama Pemuda Muhammadiyah.
Gerakan kepaduannya dinamakan Hizbul Wathan (HW). Muhammadiyah bersemboyan:
“sehari sehelai benang, lama-lama menjadi kain”. Dengan semboyan yang
diagungagungkan inilah organisasi ini banyak yang berhasil baik dalam membagun
usaha-usahanya.
3.
Al Isyad al Islamiyah
Al
Isyad merupakan satu perkumpulan Islam yang didirikan di Jakarta pada tanggal 6
September 1914, selisih dua tahun setelah organisasi Muhammadiyah
dideklarasikan. Organisasi ini didirikan oleh beberapa orang keturunan Arab,
yaitu Ahmad Surkati, Syaikh Umar Mangqush, Said Mash’abi, Saleh Ubayd Abat dan
Salim bin Alwad Bawa’i. Organisasi ini dipelopori oleh Ahmad Surkati orang
Indonesia Muslim keturunan Arab. Surkati lebih bersemangat dalam melakukan
gerakan pembaharuan Islam. Beserta kedua teman dekatnya, yaitu KH. Ahmad Dahlan
(Pendiri Muhammadiyah) dan Haji Zamzam (Perintis Persis), Ahmad Surkati
berjanji untuk berdakwah tak kenal lelah dengan melakukan pembaharuan Islam.
Supaya dakwah mereka lebih efektif dan efisien, mereka membagi peran. Ahmad
Dahlan dan Haji Zamzam konsentrasi dalam melakukan dakwah untuk kalangan
pribumi, sedangkan Surkati melakukan dakwahnya pada kumunitas keturunan Arab.
Al Isyad bergerak terutama dalam pendidikan dan dakwah. Adapun
tujuan utama dari didirikan sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah Al Isyad
untuk mengajarkan, mendidik rakyat agar pandai dalam berbahasa Arab sebagaimana
bahasa Al-Qur’an. Tidak sedikit alumni-alumni dari sekolah ini yang berhasil
dan pandai-pandai dalam bahasa Arab dan memiliki pengetahuan yang luas dalam
berbagai bidang ilmu-ilmu Islam, mereka banyak yang berpikiran maju dan modern.
4.
Nahdhatul Ulama
Berdirinya
NU berawal dari terbentuknya komite Hijaz yang dipelopori oleh Abdul Wahab
Hasbullah. Tujuan dari pembentukan komite Hijaz adalah untuk mengirim delegasi
menghadiri Mukhtamar Islam di Mekkah. Setelah komite ini menetapkan delegasi
yang akan diberangkatkan kesana maka kebutuhan yang selanjutnya adalah membuat
lembaga atau institusi yang berhak mengirimi delegasi tersebut. Untuk itu
dibentuklah sebuah organisasi baru yang disebut dengan Nahdlatul Ulama.
Nahdhatul Ulama adalah salah satu organisasi yang lahir di tanah
Surabaya yang didirikan oleh K.H Abdul Wahab Hasbullah dan K.H Hasyim Asy’ari pada
tanggal 31 Januari 1926. Organisasi ini diprakarsai oleh sejumlah ulama
terkemuka. Lahirnya NU bisa dikatakan sebagai kebangkitan para ulama. NU
didirikan untuk menampung gagasan keagamaan para ulama tradisional atau sebagai
reaksi atas prestasi ideologi gerakan modernisasi Islam yang mengusung gagasan
purifikan puritanisme. Pembentukan NU merupakan upaya pengorganisasian dan
peran para ulama, pesantren, yang sudah ada sebelumnya. Agar wilayah kerja
keulamaan lebih ditingkatkan, dikembangkan, dan diluaskan jangkauannya. Dengan
kata lain, didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah bagi usaha mempersatukan langkah-langkah
para ulama dan kiai pesantren.
5.
Persatuan Islam
Persatuan
Islam juga biasa disebut dengan sebutan Persis, Persis ini didirikan di Bandung
sekitar tahun 1926 oleh para ulama yang berpaham baru yang sering disebut
dengan paham Wahaby yang dipelopori oleh Ahmad Hassan, Mohammad Munawar Cholil
dan Mahmud Aziz. Di lain buku organisasi ini berawal dari perkumpulan dari para
saudagar dan pedagang yang biasa disebut dengan “urang pasar” di sebuah gang yang
disebut dengan Gang Pakgade.
Di gang inilah awal mulanya berdiri sebuah organisasi pembaharuan
Islam yang bersemboyan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah, serta membersihkan
Islam dari khurafat, bid’ah dan seluruh pemahaman yang mengotori kesakralannya.
Organisasi ini didirikan pada tanggal 11 September 1923 oleh Haji Zamzam dan
Haji Mohamad Yunus di Bandung. Organisasi ini sering berkecimpung dalam
penerbitan buku-buku dan pendidikan lainnya.
6.
Majlis Syura Muslimin
Indonesia
Masyumi didirikan pada bulan Oktober 1943 oleh para pemuka agama yang berlatar
belakang ormas Islam, Masyumi ini adalah kelanjutan dari MIAI yang dihidupkan
kembali oleh Jepang setelah sempat dibekukan karena takut akan kekuatan yang
ditimbulkan oleh organisasi Islam. Masyumi juga merupakan sebagai lembaga
politik Islam satu-satunya di Indonesia pada waktu itu. Dalam keanggotaan
Masyumi, Persis merupakan anggota istimewa di samping Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah.
Dalam berpolitik, Persis menggunakan otoritas lembaganya guna
menginstruksikan pada seluruh rakyat untuk masuk ke dalam Partai Masyumi.
Prinsip politik Persis adalah “Semua orang Islam hendaklah berpolitik, sebab
politik adalah salah satu kewajiban agama (Islam) untuk berjuang demi
kemaslahatan umat”. Adapun tujuan pokoknya yaitu mengkoordinir
organisasi-organisasi Islam yang telah ada. Pihak pimpinan bala tentara Jepang
menghendaki untuk membantunya dalam perang melawan sekutu, sementara oleh pihak
pemimpin-pemimpin Islam digunakanlah kesempatan itu untuk mempersatukan umat
secara diam-diam.
Lebih lanjut lagi dikemukakan oleh Yusril Ihza Mahendra dalam
bukunya, Dinamika Tatanegara Indonesia ‘Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi
Dewan Perwakilan Dan Sistem Kepartaian’ menyebutkan bahwa kehadiran partai
politik dalam sejarah Indonesia modern awal mulanya pada awal abad ke-20 M.
sejalan dengan berbagai kebijakan baru yang diberikan oleh pemerintahan Hindia
Belanda yang banyak dipengaruhi oleh politik etnis dan berbagai asosiasi yang
bercorak etnis, kebudayaan dan keagamaan yang bermunculan semenjak tahun 1905.
Partai-partai politik ini bermunculan setelah Gubernur Jenderal
Idenburg memberikan keleluasaan kepada Serikat Islam bergerak secara lokal,
karena ia mengira organisasi ini tidak akan terlibat dalam aktifitas politik.
Akan tetapi partai-partai lain pun bermunculan dalam kurun 1910-1930. Seperti
Indische Partij, ISDV (yang kemudian berubah menjadi Partij Komunis Hindia) dan
Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno pada tahun 1927.
Semenjak 40 tahun lamanya partai-partai politik ini memberi konstribusi yang
besar dalam menumbuhkan semangat nasionalisme Indonesia, walaupun partai-partai
itu tumbuh dan berkembang berdasarkan ideologi politiknya yang berbeda-beda.
Seperti halnya Organisasi Sarekat Islam yang kemudian menjadi
Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Islam Indonesia adalah partai-partai
dengan berideologi politik Islam. PNI dan Partai Indonesia Raya (Parindra)
berideologi Nasionalisme, sedangkan Partij Komunis Hindia mereka menjadi Partai
Komunis Indonesia yang berideologi Komunisme. Walaupun mereka memiliki visi
misi politik yang berbeda-beda, namun partai-partai ini memiliki tujuan yang
satu yaitu sama-sama berjuang untuk kemerdekaan rakyat Indonesia.
Partai-partai ini menghimpun massa dalam jumlah yang tidak sedikit
yang terkadang muncul sosok-sosok pemimpin politik dari kalangan bangsawan dan
tokoh-tokoh agama sehingga terjadilah hubungan baik antara pemimpin dan
pengikut-pengikutnya, pemimpin-pemimpin inilah yang membawa Indonesia menuju
kemerdekaan pada tahun 1945. Hingga saat Indonesia merdeka peranan kaum militer
belum ada. Sebagaimana telah kita ketahui militer baru terbentuk setelah
Indonesia merdeka, bukan merebutnya, melainkan mempertahankan kemerdekaan.
Dari pembahasan yang dapat penulis uraikan diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa Islam yang datang ke Indonesia berasal dari berbagai tempat,
ada beberapa teori untuk menyatakan awal masuknya Islam ke Indonesia,
diantaranya Teori Gujarat, Arab, Persia, China, dan Turki.
Teori-teori yang ada saling menguatkan dan menyempurnakan. Misalnya
teori yang menyebut Islam datang ke Indonesia pertama kali abad ke-1 Hijriah
atau abad ke-7 Masehi, dimaknai dengan sampainya individu-individu pemeluk
Islam dari Arabia, Persia atau India ke Indonesia. Teori ini kemudian
disempurnakan dengan teori yang menyatakan Islam datang abad ke-13 Masehi yang
dimaknai dengan terdapatnya orang pribumi dalam komunitas yang besar.
Sedangkan teori yang menyatakan bahwa tanah Arab merupakan daerah
asal kedatangan Islam dikuatkan teori lain bahwa dalam perjalanannya ke
Indonesia terjadi peran dan pengaruh wilayah Persia dan India. Demikan juga
tentang tempat pertama yang didatangi Islam yaitu Barus dan Pasai, ini
dianalisa dengan perspektif bahwa Islam sampai ke Indonesia melalui jalur
perdagangan. Peta perdagangan menunjukkan bahwa jalur pantai sebelah timur
pulau Sumatera lebih dominan dibanding jalur pantai barat dan di sisi lain
pantai timur Sumatera lebih kondusif untuk dilayari.
Pada masa pra kemerdekaan, Islam juga berkembang dalam bidang
politik. Hal itu dilakukan atas dasar perlunya menghimpun kekuatanu untuk mempertahankan
Islam dan juga dalam upaya meraih kemerdekaan.

Posting Komentar