Proses Sejarah Pembukuan Al Quran pada Masa Khalifah Utsman bin Affan

Photo by The Dancing Rain on Unsplash

Disampaikan dalam beberapa riwayat mengenai latar belakang pembukuan Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan yang dicatat oleh umat Islam. Pada tahun 30 H Huzaifah bin Al-Yaman dan Said bin Al-Ash pulang ke Madinah dari Azerbeijan. Dalam perjalanan menuju Madinah Huzaifah mengatakan, “Dalam beberapa perjalanan yang aku lakukan, aku melihat ada masalah besar yang tengah menimpa umat Islam. Bila hal ini tidak ditanggapi, maka akan terjadi perselisihan di kalangan umat Islam tentang Al-Qur’an”. Sa’id bin al-Ash bertanya, ”Apa masalahnya?”  “Aku melihat penduduk Himsh mengklaim bahwa qira’atnya lebih bagus dari qira’at yang lain. Mereka mempelajari qira’at dari al-Miqdad. Demikian juga penduduk Damaskus juga melihat bahwa qira’at mereka lebih bagus dari yang lain-nya. penduduk Kufah yang belajar qira’at dari Abu Musa dan menamai Mushaf Abu Musa dengan Lubab al-Qulub juga mengklaim qira’at mereka lebih bagus”.

Adanya fenomena ini membuat para sahabat khawatir dengan kemungkinan terjadinya penyimpangan dan perubahan Al-Quran sebagaimana yang pernah terjadi pada kitab-kitab sebelumnya. Ditambah lagi, pada masa itu permintaan mushaf-mushaf semakin bertambah, seiring dengan meningkatnya kebutuhan kaum Muslimin akan sumber hukum dan aturan, di tengah meluasnya ruang lingkup pemerintahan Islam yang tersiar hingga ke Syam (Syiria), Iran, dan lain-lain.

Adanya perbedaan dalam mushaf-mushaf dan bacaan-bacaan tersebut, seringkali memicu perselisihan diantara kaum Muslimin. Oleh sebab itu, demi menghindari konflik berkepanjangan semacam ini, Hudzaifah melaporkan  tentang apa yang diamatinya dan diperhatikannya selama perjalanannya dari Azerbaijan kepada Khalifah Utsman bin Affan.

Seorang khalifah dalam hal ini Utsman bin Affan melihat sinyal-sinyal perpecahan tengah berproses dan tersebar di tengah-tengah masyarakat yang berada di bawah wilayah kepemimpinan dan tanggung jawabnya. Kekhawatirannya yang besar akan terjadinya konflik, perpecahan bahkan partumpahan darah dikalangan umat Islam sendiri telah mendorongnya untuk menginstruksikan agar bekerja bersama-sama untuk membuat sebuah mushaf yang bisa dijadikan pedoman bagi umat Islam.

Tim Pelaksana Penyusunan Mushaf

Mendengar laporan dari Hudzaifah, langkah awal yang dilakukan Khalifah Utsman bin Affan adalah meminta kumpulan naskah Al-Quran yang disimpan Hafsah binti Umar, yaitu kumpulan mushaf-mushaf yang berserakan pada zaman pemerintahan khalifah Abu Bakar. Dari kumpulan lembaran manuskrip tersebut, oleh Utsman meminta untuk disalin lembaran-nya menjadi satu. Sehingga dengan inisiasi penulisan ini dikenal masyarakat dengan kaidah Rasm Utsmani.

Setelah mushaf sudah terpegang kemudian khalifah Utsman membentuk suatu tim atau panitia untuk melaksanakan tugas penulisan Al-Quran, dalam hal ini ada perbedaan pendapat tentang jumlah orang yang terlibat dalam penulisan Al-Quran, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa yang terlibat dalam menyalin mushaf-mushaf berjumlah 12 orang, namun informasi ini berbeda dengan riwayat yang disampaikan oleh Imam Bukhari sebelumnya dimana disebutkan nama-nama para sahabat yang ditunjuk oleh Khalifah Utsman bin Affan sebagai tim pelaksana pekerjaan besar untuk menaskah ulang Al-Qur’an yang akan dijadikan sebagai standar Al-Qur’an yang dipedomani umat Islam. Nama-nama tersebut adalah Zaid bin Tsabit (sebagai ketua tim), Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin al-Ash dan Abdurrahman bin al-Harits. Yang jelas nama-nama ini ditunjuk langsung oleh Utsman bin Affan.

Panitia yang terdiri dari Zaid bin Tsabit adalah berasal dari Madinah atau kalangan Anshar, sedangkan tiga orang lainnya Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin al-Ash dan Abdurrahman bin al-Harits adalah kalangan muhajirin yang berasal dari Makkah.

Alasan pemilihan Zaid bin Tsabit sebagai ketua tim penyususnan mushaf didasarkan atas alasan kompetensi pada kepribadian, keilmuan, dan pengalaman serta kesanggupan dan keistimewaan-nya dari berbagai segi untuk melaksanakan pekerjan ini. Zaid bin Tsabit sebelumnya pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar juga ditunjuk bertanggung jawab untuk mengumpulkan naskah Al-Quran dan menghimpun Al-Qur’an, demikian juga pada masa Nabi Muhammad SAW termasuk sebagai salah seorang Kuttab al-Wahy (penulis wahyu) yang menjadi kepercayaaan Nabi Muhammad SAW.

Metode Penulisan Ulang Naskah Al-Quran

Para petugas yang dibebani menyusun mushaf Al-Quran yaitu Zaid bin Tsabit beserta tiga orang sahabat lainnya menempuh sesuatu metode khusus dalam menulis Al-Quran. Metode ini dikenal dengan nama al-Rasm al-‘Utsmani li al mushaf.  yaitu suatu metode penulisan yang dinisbahkan kepada khalifah Utsman, karena ia yang menugasi penulisan mushaf itu kepada Zaid bin Tsabit beserta anggota-anggotanya. Namun dengan berlalunya waktu, mereka kemudian berbeda pendapat mengenai status hukumnya.

Karena penulisan Al-Quran adalah Tauqifi, sesuai instruksi dari Nabi yang memerintahkan kepada mereka bentuk tulisan seperti yang dikenal sekarang. Para sekretaris Nabi menuliskan istilah dan cara penulisan itu atas restu dari Utsman bin Affan, bahkan Utsman memberikan pedoman penulisan “jika kalian berselisih pendapat dengan Zaid bin Tsabit mengenai penulisan, maka tulislah menggunakan menurut dialek Quraisy, karena Al-Quran diturunkan menggunakan dialek, logat mereka” Satu prinsip yang harus dipenuhi dalam menjalankan tugas adalah bahwa ketika terjadi kasus kesulitan, maka bacaan Quraisy – suku asal Nabi harus dijadikan sebagai pilihan. Keseluruhan Al-Qur’an merujuk dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf yang berada ditangan Hafsah serta dikembalikan kepadanya ketika resensi Al-Qur’an sudah selesai dilakukan. Dengan demikian lahirlah naskah otoritatif (absah) yang belakangan disebut Mushaf Utsmani. Kemudian sejumlah salinan yang dibuat dibagikan ke pusat-pusat daerah Islam. Pelaksanaan pekerjaan ini pada tahun 25 Hijriyah.

Setelah pekerjaan penaskahan ulang diselesaikan oleh tim yang ditunjuk oleh Utsman. Utsman bin Affan mengirim beberapa salinan dari mushaf induk ke wilayah-wilayah dalam kekuasaannya. Para ulama berbeda pendapat berapa jumlah mushaf yang ditulis Utsman. Pendapat yang mahsyur menyebutkan bahwa mushaf Alquran diperbanyak menjadi lima. Di kirim ke Makkah, Madinah, Kufah, Syam, dan satu lagi dipegang oleh Utsman sendiri. itulah yang kemudian dikenal dengan mushaf Al Imam.

Selain itu, ada juga pendapat yang paling kuat menyatakan bahwa mushaf tersebut digandakan menjadi enam. Empat di antaraya dikirim ke Makkah, Syam, Kufah, dan Bashrah, satu di Madinah. Mushaf itu dinamakan Al Madani Al’Aam.  Dan satu lagi dipegang Utsman.

Setiap mushaf yang dikirim itu disertai dengan pengajar yang mengajarkan kaum muslimin cara membacanya berdasarkan hadits-hadits shahih dan mutawatir. Abdullah bin Sa’ib mengajarkan mushaf yang dikirim ke Mekkah, Mughirah bin Syiab mengajar di Syam, Abu Abdurrahman Sulami di Kufah, Amir bi Qash di Bashrah, Zaid bin Tsabit di Madinah.

Pembakaran Mushaf Selain Mushaf Utsmani

Setelah selesai pembukuan Al-Qur’an yang dilaksanakan oleh tim khusus, maka Utsman bin Affan mengambil kebijakan pada waktu itu yaitu membakar Mushaf yang lain selain mushaf resmi. Kebijakan Utsman bin Affan adalah sebagai kebijakan resmi sebagai kepala pemerintahan Islam pada waktu itu. Sehingga penyalinan kembali mushaf pada masa berikutnya berdasarkan kepada Mushaf Utsmani yang sudah ditetapkan secara resmi.

Walau bagaimanapun kebijakan Utsman untuk membuat naskah ulang dan menjadikan mushaf yang belakangan disebut dengan Mushaf Utsmani sebagai mushaf resmi serta membakar selain mushaf resmi sangat beralasan bagi persatuan umat Islam dan bagi eksistensi Al-Qur’an itu sendiri, karena kondisi umat Islam pada waktu itu berada pada posisi yang mengkhawatirkan yaitu perbedaan dan perpecahan bahkan sampai pada kondisi kafir mengkafirkan. Jika hal ini dibiarkan oleh pemerintah pada waktu itu tentu kerugian besar akan menimpa umat Islam. Pekerjaan ini dilakukan bukan tanpa kritikan dari kalangan umat Islam sendiri bahkan belakangan menjadi perdebatan.

Bayangkan, di tengah ekspansi cepat dan ragam dialek Arab, Khalifah Utsman memilih jalan tak populer: mengumpulkan, menyaring, dan menghapus salinan—semua demi menjaga kemurnian teks suci. Di balik ketegasannya, terdapat visi besar yaitu menjaga persatuan umat lewat wahyu yang satu, tidak terbelah oleh perbedaan dialek.

Tim Zaid bin Tsabit dan koleganya berperan layaknya tim ilmiah: menelusuri ribuan halaman dan mengonfirmasi hafalan, memverifikasi kata demi kata, serta memutuskan akurasi berdasarkan dialek yang paling otentik. Proses ini sama rumitnya dengan meneropong teks kuno—dan hasilnya adalah fundamen teks Al‑Qur’an yang utuh hingga sekarang.


Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama