![]() |
| Photo by Dominik Vanyi on Unsplash |
Jagat media sosial dalam beberapa
hari ini telah berisi keriuhan tentang berbagai kondisi. Salah satu yang paling
banyak menuai komentar adalah mengenai keputusan Pemerintah Republik Indonesia
yang memberikan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara
prioritas kepada Organisasi kemasyarakatan (selanjutnya disebut Ormas)
keagamaan, salah satunya Ormas Islam.
Keputusan tersebut tertuang dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP No.96
Tahun 2021. Peraturan tersebut disayangkan oleh berbagai pihak dan berakhir
pada beragam kritik yang semakin masif dilancarkan oleh publik. Salah satu
kritik yang mengemuka berasal dari koalisi masyarakat sipil. Koordinator
Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, mengemukakan
bahwa dalam pasal 83A PP No. 25 Tahun 2024 yang berisi pemberlakuan penawaran
prioritas Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada Ormas keagamaan
bertentangan dengan UU Minerba. Di sisi lain, sebagaimana dilansir dari CNN
Indonesia, dua Ormas keagamaan dalam Islam yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan
Persis telah menyatakan akan mengajukan izin pengelolaan tambang ke Pemerintah.
Sejatinya tidak semua anggota dan
simpatisan NU maupun Persis—terutama akar rumput— sepakat dengan langkah yang
diambil oleh para petinggi Ormas. Sudah banyak terlihat mereka melakukan
autokritik terhadap organisasi mereka sendiri. Dalam bahasa populer apa yang
dilakukan akar rumput bisa digambarkan seperti sikap seorang Ibu kepada
anaknya, walaupun berisik dan marah-marah tetapi itu karena atas dasar rasa
sayang. Maklum saja, banyak akar rumput yang masih memegang prinsip bahwa Ormas
Islam justru harus menghadirkan manfaat dan mengakomodasi kepentingan umat,
bukan justru memanfaatkan kesempatan untuk menambah pundi-pundi pendanaan yang
harus bertaruh dengan potensi kerusakan lingkungan.
Melihat fenomena pemberian izin
tambang bagi Ormas Islam, menarik rasanya jika dibedah menggunakan perspektif
filsuf Barat era kontemporer. Pertama, kita akan mencoba membedah fenomena
tersebut menggunakan perspektif genealogi diskursus yang dihadirkan oleh Michel
Foucault. Ketika membicarakan mengenai pemberian izin tambang, tentu peran
pemerintah sebagai penguasa tidak bisa dinafikan.
Pemerintah dengan mengatasnamakan
kekuasaan justru bisa dengan mudah melenggang menerbitkan peraturan-peraturan,
dan salah satu produknya adalah peraturan pemerintah mengenai izin tambang
terhadap Ormas Islam. Foucault mengemukakan bahwa konsepsi kekuasaan yang
dibangunnya bukan merupakan sebuah ideologi, melainkan sebagai diskursus.
Secara terminologis, diskursus
berarti adanya kemungkinan-kemungkinan yang terus berkembang dalam hal
pengetahuan, kekuasaan, budaya, ritual, institusi, dan lain sebagainya. Lebih
terperinci kita bisa katakan bahwa pernyataan-pernyataan, operasi-operasi
kekuasaan, perilaku budaya, ritual masyarakat, cara kerja institusi, sebagai
perwujudan dari diskursus-diskursus.
Menurut Foucault, setiap bentuk
kekuasaan merupakan suatu diskursus. Lebih jauh, Foucault tidak sependapat jika
kekuasaan hanya dipahami sebagai alat untuk mengobjektivikasi, memaksa atau
menghukum. Kekuasaan seharusnya eksis untuk mengatur dan meningkatkan
kehidupan.
Dalam konteks pemberian izin
tambang, bentuk kekuasaan dapat dilihat melalui narasi yang dibangun oleh
Pemerintah atau digunakan oleh Ormas Islam untuk membenarkan tindakan yang mereka
lakukan. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah tidak jarang menggunakan dalih
pembangunan ekonomi dan salah satu ketua Ormas Islam menggunakan retorika
peningkatan kesejahteraan organisasi guna melancarkan justifikasi atas
pemberian izin tambang khusus.
Hal tersebut tentu merupakan wujud
dari diskursus-diskursus yang pada akhirnya justru menciptakan kesan bahwa
kekuasaan mengamini potensi eksploitasi sumber daya alam lebih lanjut sebagai
langkah yang dinilai perlu untuk kemajuan nasional atau kepentingan pendanaan
organisasi. Seperti dijelaskan oleh Foucault, sudah saatnya kekuasaan digunakan
untuk benar-benar sebagai alat kesejahteraan masyarakat, bukan hanya dalih
kesejahteraan yang menggunakan topeng objektivikasi.
Menarik untuk kemudian kita tarik
fenomena pemberian izin tambang Ormas Islam untuk dibedah melalui perspektif
etika yang ditawarkan oleh Emmanual Levinas. Secara umum, etika Levinas
merupakan bentuk etika asimetris yang menekankan tanggung jawab etis terhadap
“Yang Lain”. Awalnya Levinas terinspirasi dari fenomenologi Edmun Husserl yang
kemudian dikembangkan oleh Martin Heidegger. Levinas melakukan penolakan atas
pendekatan totalitas terhadap sebuah realitas.
Dalam sebuah tulisannya, Levinas
menjelaskan bahwa pada dasarnya segala totalitas didobrak oleh satu hal
metafisis yang disebut sebagai "Yang Lain” atau “Yang Tak Berhingga”.
Secara sederhana dapat dipahami bahwa relasi kita dengan Orang Lain sejatinya
menyingkap wilayah etis, sebab ia tidak takluk pada konsep atau totalitas.
Dalam konteks pemberian izin
tambang kepada Ormas Islam, pemberian izin tambang sepatutnya dipertimbangkan
bukan hanya dari sisi kekuasaan yang menguntungkan relasi kerja sama dalam
kancah politik. Pemberian izin tambang juga tidak bisa jika hanya dipertimbangkan
dari sisi keuntungan Ormas, seperti dikatakan oleh salah satu ketua Ormas yang
pro terhadap pemberian izin tambang dengan dalih pendanaan organisasi dan
kesejahteraan umat.
Lebih dari itu, pemberian izin
tambang harus mempertimbangkan “Yang Lain”. Totalitas dan objektivikasi harus
didobrak sehingga muncul perspektif tanggung jawab terhadap “Yang Lain” dalam
bentuk manifestasi masyarakat sekitar yang terdampak terhadap adanya
pertambangan.
Levinas bermaksud menekankan bahwa
penting untuk kemudian melihat “Yang Lain” sebagai panggilan atau rambu-rambu
dalam bertindak etis. Melalui pernyataan tersebut, secara konkret Pemerintah
atau Ormas Islam sudah jelas untuk harus mempertimbangkan dampak sosial dan
lingkungan dari kegiatan pertambangan. Suara-suara akar rumput yang peduli
terhadap isu lingkungan atau bahkan masyarakat yang jelas-jelas terdampak,
tentu harus didengar dan dijadikan pertimbangan dalam proses pengambilan
keputusan.
Sampai kemudian pada taraf yang
paling mungkin, etika Emmanual Levinas menuntut adanya perlakuan etis terhadap
“Yang lain” dalam manifestasi mereka yang terdampak atas terbitnya aturan
pemberian izin tambang terhadap Ormas Islam.
Sebagai penutup, perlu ditegaskan bahwa sekali lagi, mereka yang terdampak bukan alat objektivikasi yang atas nama ‘kebijakan’ bisa dengan semena-mena untuk dieksploitasi.
