Fenomena Izin Tambang Bagi Ormas Islam: Analisis Perspektif Diskursus Michel Foucault dan Etika Emmanuel Levinas

Photo by Dominik Vanyi on Unsplash

Jagat media sosial dalam beberapa hari ini telah berisi keriuhan tentang berbagai kondisi. Salah satu yang paling banyak menuai komentar adalah mengenai keputusan Pemerintah Republik Indonesia yang memberikan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas kepada Organisasi kemasyarakatan (selanjutnya disebut Ormas) keagamaan, salah satunya Ormas Islam. 

Keputusan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP No.96 Tahun 2021. Peraturan tersebut disayangkan oleh berbagai pihak dan berakhir pada beragam kritik yang semakin masif dilancarkan oleh publik. Salah satu kritik yang mengemuka berasal dari koalisi masyarakat sipil. Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, mengemukakan bahwa dalam pasal 83A PP No. 25 Tahun 2024 yang berisi pemberlakuan penawaran prioritas Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada Ormas keagamaan bertentangan dengan UU Minerba. Di sisi lain, sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia, dua Ormas keagamaan dalam Islam yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Persis telah menyatakan akan mengajukan izin pengelolaan tambang ke Pemerintah.

Sejatinya tidak semua anggota dan simpatisan NU maupun Persis—terutama akar rumput— sepakat dengan langkah yang diambil oleh para petinggi Ormas. Sudah banyak terlihat mereka melakukan autokritik terhadap organisasi mereka sendiri. Dalam bahasa populer apa yang dilakukan akar rumput bisa digambarkan seperti sikap seorang Ibu kepada anaknya, walaupun berisik dan marah-marah tetapi itu karena atas dasar rasa sayang. Maklum saja, banyak akar rumput yang masih memegang prinsip bahwa Ormas Islam justru harus menghadirkan manfaat dan mengakomodasi kepentingan umat, bukan justru memanfaatkan kesempatan untuk menambah pundi-pundi pendanaan yang harus bertaruh dengan potensi kerusakan lingkungan.

Melihat fenomena pemberian izin tambang bagi Ormas Islam, menarik rasanya jika dibedah menggunakan perspektif filsuf Barat era kontemporer. Pertama, kita akan mencoba membedah fenomena tersebut menggunakan perspektif genealogi diskursus yang dihadirkan oleh Michel Foucault. Ketika membicarakan mengenai pemberian izin tambang, tentu peran pemerintah sebagai penguasa tidak bisa dinafikan.

Pemerintah dengan mengatasnamakan kekuasaan justru bisa dengan mudah melenggang menerbitkan peraturan-peraturan, dan salah satu produknya adalah peraturan pemerintah mengenai izin tambang terhadap Ormas Islam. Foucault mengemukakan bahwa konsepsi kekuasaan yang dibangunnya bukan merupakan sebuah ideologi, melainkan sebagai diskursus.

Secara terminologis, diskursus berarti adanya kemungkinan-kemungkinan yang terus berkembang dalam hal pengetahuan, kekuasaan, budaya, ritual, institusi, dan lain sebagainya. Lebih terperinci kita bisa katakan bahwa pernyataan-pernyataan, operasi-operasi kekuasaan, perilaku budaya, ritual masyarakat, cara kerja institusi, sebagai perwujudan dari diskursus-diskursus.

Menurut Foucault, setiap bentuk kekuasaan merupakan suatu diskursus. Lebih jauh, Foucault tidak sependapat jika kekuasaan hanya dipahami sebagai alat untuk mengobjektivikasi, memaksa atau menghukum. Kekuasaan seharusnya eksis untuk mengatur dan meningkatkan kehidupan.

Dalam konteks pemberian izin tambang, bentuk kekuasaan dapat dilihat melalui narasi yang dibangun oleh Pemerintah atau digunakan oleh Ormas Islam untuk membenarkan tindakan yang mereka lakukan. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah tidak jarang menggunakan dalih pembangunan ekonomi dan salah satu ketua Ormas Islam menggunakan retorika peningkatan kesejahteraan organisasi guna melancarkan justifikasi atas pemberian izin tambang khusus.

Hal tersebut tentu merupakan wujud dari diskursus-diskursus yang pada akhirnya justru menciptakan kesan bahwa kekuasaan mengamini potensi eksploitasi sumber daya alam lebih lanjut sebagai langkah yang dinilai perlu untuk kemajuan nasional atau kepentingan pendanaan organisasi. Seperti dijelaskan oleh Foucault, sudah saatnya kekuasaan digunakan untuk benar-benar sebagai alat kesejahteraan masyarakat, bukan hanya dalih kesejahteraan yang menggunakan topeng objektivikasi.

Menarik untuk kemudian kita tarik fenomena pemberian izin tambang Ormas Islam untuk dibedah melalui perspektif etika yang ditawarkan oleh Emmanual Levinas. Secara umum, etika Levinas merupakan bentuk etika asimetris yang menekankan tanggung jawab etis terhadap “Yang Lain”. Awalnya Levinas terinspirasi dari fenomenologi Edmun Husserl yang kemudian dikembangkan oleh Martin Heidegger. Levinas melakukan penolakan atas pendekatan totalitas terhadap sebuah realitas.

Dalam sebuah tulisannya, Levinas menjelaskan bahwa pada dasarnya segala totalitas didobrak oleh satu hal metafisis yang disebut sebagai "Yang Lain” atau “Yang Tak Berhingga”. Secara sederhana dapat dipahami bahwa relasi kita dengan Orang Lain sejatinya menyingkap wilayah etis, sebab ia tidak takluk pada konsep atau totalitas.

Dalam konteks pemberian izin tambang kepada Ormas Islam, pemberian izin tambang sepatutnya dipertimbangkan bukan hanya dari sisi kekuasaan yang menguntungkan relasi kerja sama dalam kancah politik. Pemberian izin tambang juga tidak bisa jika hanya dipertimbangkan dari sisi keuntungan Ormas, seperti dikatakan oleh salah satu ketua Ormas yang pro terhadap pemberian izin tambang dengan dalih pendanaan organisasi dan kesejahteraan umat.

Lebih dari itu, pemberian izin tambang harus mempertimbangkan “Yang Lain”. Totalitas dan objektivikasi harus didobrak sehingga muncul perspektif tanggung jawab terhadap “Yang Lain” dalam bentuk manifestasi masyarakat sekitar yang terdampak terhadap adanya pertambangan.

Levinas bermaksud menekankan bahwa penting untuk kemudian melihat “Yang Lain” sebagai panggilan atau rambu-rambu dalam bertindak etis. Melalui pernyataan tersebut, secara konkret Pemerintah atau Ormas Islam sudah jelas untuk harus mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan pertambangan. Suara-suara akar rumput yang peduli terhadap isu lingkungan atau bahkan masyarakat yang jelas-jelas terdampak, tentu harus didengar dan dijadikan pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan.

Sampai kemudian pada taraf yang paling mungkin, etika Emmanual Levinas menuntut adanya perlakuan etis terhadap “Yang lain” dalam manifestasi mereka yang terdampak atas terbitnya aturan pemberian izin tambang terhadap Ormas Islam.

Sebagai penutup, perlu ditegaskan bahwa sekali lagi, mereka yang terdampak bukan alat objektivikasi yang atas nama ‘kebijakan’ bisa dengan semena-mena untuk dieksploitasi.

Lebih baru Lebih lama