Ekosida: Menghitung Dampak Mengerikan Polusi Plastik di Laut

Photo by Naja Bertolt Jensen on Unsplash

Polusi sampah plastik di lautan telah menjadi masalah lingkungan yang signifikan dan mendesak. Dengan produksi plastik global yang melebihi 300 juta ton per tahun sejak 2014, dampak negatif terhadap ekosistem laut semakin mengkhawatirkan. Menurut riset Plastic Waste Inputs From Land Into The Ocean bahwa pada tahun 2010 saja, antara 4,8 hingga 12,7 juta metrik ton sampah plastik masuk ke lautan dari 192 negara pesisir. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan global dalam mengelola sampah plastik secara efektif, yang terutama dipicu oleh ketidakseimbangan antara produksi plastik yang terus meningkat dan sistem manajemen sampah yang masih tertinggal.

Ancaman Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati
Plastik yang memasuki lautan berasal dari berbagai sumber, mulai dari limbah konsumen hingga industri, dan sering kali berakhir di perairan melalui aliran sungai atau langsung dari kegiatan pesisir. Menurut laporan dari World Wildlife Fund (WWF) menunjukkan bahwa sekitar 8 juta metrik ton sampah plastik masuk ke lautan setiap tahunnya, dan angka ini diperkirakan akan meningkat secara eksponensial jika tidak ada tindakan drastis yang diambil​​ oleh tiap-tiap negara.

Dari hasil kajian Plastic Waste Inputs From Land Into The Ocean  menyebutkan negara-negara seperti China, Indonesia, dan Filipina, merupakan kontributor utama dari sampah plastik yang tidak terkelola. Indonesia menempati posisi kedua sebagai penyumbang terbesar sampah plastik ke laut di dunia. China berada di urutan pertama dengan menghasilkan 262,9 juta ton sampah plastik di laut. Indonesia menyumbang 187,2 juta ton, diikuti oleh Filipina dengan 83,4 juta ton, Vietnam dengan 55,9 juta ton, dan Sri Lanka dengan 14,6 juta ton.

Sampah plastik ini menyebabkan kerusakan besar pada ekosistem laut. Mikroplastik, partikel kecil yang berasal dari degradasi plastik, telah ditemukan di hampir setiap sudut lautan. Organisme laut dari berbagai tingkatan trofik, mulai dari plankton hingga paus, telah terbukti menelan mikroplastik ini, yang dapat menyebabkan efek toksik dan mempengaruhi rantai makanan laut secara keseluruhan​​.

Tidak sedikit kasus dimana sampah plastik menjadi penyebab kematian berbagai hewan laut. Hewan-hewan seperti burung laut, penyu, ikan, dan mamalia laut sering kali menelan plastik. Plastik yang tertelan dapat menyebabkan luka internal, rasa lapar palsu, dan akhirnya kematian karena kelaparan atau infeksi.

Sebagai contoh Januari 2022 lalu seekor penyu hijau ditemukan mati di Pantai Cangkring, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kondisi mulut penyu penuh sampah plastik. Kasus lainnya pada bulan Mei tahun 2024 di provinsi dan kabupaten yang sama, tepatnya di Pantai Indokor seekor penyu lekang mati karena mengkonsumsi sampah plastik yang terlihat pada mulut penyu yang penuh dengan sampah plastik. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya masalah pencemaran sampah plastik di laut.

Dalam riset berjudul Impact of Plastic Waste on the Marine Biota mengungkapkan bahwa lebih dari 260 spesies laut telah terdampak oleh plastik melalui penelanan atau terjerat plastik, yang berujung pada kematian​.

Selain itu, plastik juga berdampak negatif pada terumbu karang. Terumbu karang yang terpapar plastik memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit. Penelitian pada tahun 2011-2014 di kawasan Asia-Pasifik menemukan bahwa terumbu karang yang terpapar plastik memiliki tingkat penyakit mencapai 89%, dibandingkan hanya 4% pada terumbu karang yang bebas dari plastik.

Contoh kasus lainnya adalah Great Barrier Reef di Australia, di mana terumbu karang mengalami degradasi yang signifikan akibat pencemaran plastik. Sampah plastik yang tersangkut di terumbu ini tidak hanya menghalangi fotosintesis, tetapi juga menjadi media pertumbuhan bagi patogen yang menyebabkan penyakit karang seperti black band disease dan white syndrome.

Dampak Ekonomi dan Sosial yang Mengkhawatirkan
Sampah plastik laut juga menimbulkan beban ekonomi yang signifikan. Sektor perikanan dan pariwisata, yang sangat bergantung pada kesehatan ekosistem laut, sering kali mengalami kerugian besar akibat penurunan kualitas lingkungan​​. Terutama kerugian pada sektor industri penangkapan ikan laut yang menyebabkan hilangnya spesies yang ditargetkan atau yang tidak ditargetkan, serta peningkatan biaya untuk mengganti komponen alat tangkap yang rusak, biaya pemantauan, pembersihan, dan pembuangan.

Dari hasil penelitian yang berjudul Analisis Dampak Sampah Plastik di Laut terhadap Aktivitas Nelayan Skala Kecil di Jakarta mengungkapkan bahwa sampah plastik di laut menyebabkan kerugian yang substansial bagi nelayan skala kecil di Jakarta. Peningkatan biaya operasional dan penurunan pendapatan yang dialami nelayan akibat sampah plastik merupakan realitas pahit yang mereka hadapi setiap hari. Dalam penelitian ini menyatakan bahwa pada kategori nelayan 0 gros ton (GT) mengalami peningkatan biaya operasional sebesar 69,5% dan penurunan pendapatan hingga 38%. Sementara itu, nelayan 10 GT, meskipun dampaknya lebih kecil, masih mengalami peningkatan biaya operasional sebesar 9,4% dan juga penurunan pendapatan sebesar 9,4%, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada nelayan yang kebal terhadap dampak negatif sampah plastik, meskipun tingkat kerugiannya berbeda.

Dampak sosial dari pencemaran plastik laut juga tidak bisa diabaikan. Masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup pada sumber daya laut sering kali menjadi yang paling terkena dampak, baik secara ekonomi maupun kesehatan. Kontaminasi makanan laut dengan mikroplastik menimbulkan risiko kesehatan bagi manusia, mengingat banyak populasi bergantung pada ikan dan hasil laut lainnya sebagai sumber utama protein​​.

Hasil riset berjudul Plastic and Human Health: A Micro Issue? menunjukkan bahwa mikroplastik telah ditemukan dalam berbagai spesies ikan dan kerang yang dikonsumsi manusia. Ini menimbulkan risiko kesehatan karena mikroplastik dapat membawa zat kimia berbahaya seperti bisphenol A (BPA) dan polychlorinated biphenyls (PCBs) yang dapat mengganggu sistem endokrin dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk gangguan hormonal dan peningkatan risiko kanker .

Mitigasi dan Langkah Konkret
Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan tindakan global yang lebih tegas dan terkoordinasi. Protokol internasional seperti Protokol Barcelona dari OSPAR Convention dan program Marine Debris dari CCAMLR (The Convention on the Conservation of Antarctic Marine Living Resources) merupakan langkah awal yang baik, namun belum cukup kuat dalam implementasinya​​. Negara-negara harus lebih berkomitmen dalam mengurangi produksi dan penggunaan plastik sekali pakai, serta meningkatkan upaya daur ulang dan pengelolaan limbah yang efektif.

Program Fishing for Litter yang dilakukan oleh OSPAR Convention menunjukkan bahwa kerja sama dengan komunitas lokal, seperti nelayan, bisa menjadi bagian penting dari solusi​​. Melibatkan masyarakat lokal dalam upaya pembersihan dan edukasi tentang bahaya sampah plastik bisa meningkatkan efektivitas program mitigasi, dan ini harus didukung oleh kebijakan nasional dan internasional yang kuat, termasuk pemberlakuan sanksi bagi negara atau perusahaan yang melanggar aturan lingkungan.

Komitmen pemerintah Indonesia dalam mengatasi kebocoran limbah plastik ke lautan tertuang pada kebijakan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut, kebijakan ini menargetkan untuk menekan kebocoran sampah plastik di laut sebesar 70% pada tahun 2025.

Mengingat sekitar 80% sebagian besar sampah yang mencemari laut berasal dari kegiatan di darat. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah mengambil langkah-langkah percepatan dalam penanganan sampah yang terintegrasi. Salah satunya adalah dengan membangun proyek-proyek revitalisasi dan TPS-3R berbasis masyarakat, mengembangkan Refuse Derived Fuel (RDF), dan menerapkan fasilitas Pemulihan Bahan (MRF).

Meskipun telah mengambil langkah-langkah yang terintegrasi tetapi dalam implementasinya kebijakan tersebut dinilai gagal. Hasil penelitian Noam Vogt-Vincent dari University of Oxford mengungkap bahwa sebagian besar sampah plastik yang terdampar di pantai Seychelles merupakan kemasan produk Indonesia. Ini menyiratkan bahwa penanganan sampah laut tidak ditanggapi dengan serius.

Selain itu, kebijakan yang diimplementasikan sering kali tidak efektif karena tidak didasarkan pada data ilmiah yang kuat. Misalnya, program bersih-bersih pantai yang kerap dilakukan secara sporadis dan bersifat seremonial lebih cenderung menjadi ajang pencitraan daripada solusi nyata. Padahal, masalah sampah laut membutuhkan pendekatan yang lebih berkelanjutan, seperti pengelolaan limbah dari hulu hingga hilir dan peningkatan kapasitas daur ulang.

Yang paling mengecewakan adalah kurangnya edukasi dan kesadaran yang ditanamkan kepada masyarakat. Kampanye pemerintah sering kali setengah hati dan tidak menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Padahal, perubahan perilaku masyarakat adalah kunci utama dalam mengurangi sampah plastik di laut. Tanpa upaya yang sungguh-sungguh untuk mengedukasi publik tentang bahaya sampah laut dan cara pengelolaannya, upaya pemerintah hanya akan menjadi omong kosong belaka.

Kebijakan pemerintah dalam menangani sampah laut adalah cerminan dari kegagalan total dalam manajemen lingkungan. Tanpa adanya reformasi mendasar dan komitmen yang nyata, kita hanya akan menyaksikan kerusakan laut yang semakin parah, yang pada akhirnya akan menghancurkan sumber daya alam dan kesehatan kita semua. Pemerintah harus segera bangun dari tidur panjangnya dan mengambil langkah nyata yang berani, bukan sekadar menebar janji kosong. 

Lebih baru Lebih lama