![]() |
| Photo by æ„šæœ¨æ··æ ª cdd20 on Unsplash |
Ilmu
pengetahuan merupakan fondasi yang menopang perkembangan peradaban manusia.
Dalam memahami hakikat ilmu, kita perlu menelaahnya dari tiga dimensi utama:
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga dimensi ini tidak hanya membantu
kita memahami ilmu secara mendalam, tetapi juga memberikan kerangka yang kokoh
dalam pengembangan dan penerapannya.
Untuk
melakukan kajian ontologi kita perlu memerlukan fakta empiris, menurut
terminologinya empiris ialah sifat kejadian yang berdasarkan pengalaman manusia.
Dengan kata lain fakta empiris adalah fakta yang dapat dialami oleh manusia
secara langsung dengan mempergunakan panca indera. Untuk memperoleh pengetahuan
ini, ilmu membuat asumsi untuk mengenai objek-objek empiris.
Asumsi
adalah landasan berpikir untuk kegiatan keilmuan, ilmu pengetahuan akan dianggap benar jika sebuah
asumsi dapat dikemukakan. Lebih spesifik ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek
empiris, yang pertama asumsi yang mengatakan bahwa objek-objek tertentu
mempuyai sebuah persamaan antara satu sama lain dalam hal bentuk, struktur,
sifat dan lainnya. Berdasarkan hal ini kita dapat mengklasifikasikan objek yang
serupa ke dalam satu golongan atau kelompok. Asumsi yang kedua adalah anggapan bahwa
suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Artinya
bahwa sifat pokok dari suatu objek tidak akan mengalami perubahan dalam jangka
waktu tertentu. Asumsi yang ketiga adalah determinisme yaitu setiap gejala
bukanlah suatu kejadian atau peristiwa yang bersifat kebetulan tetapi mempunyai
pola tertentu dengan urutan kejadian yang sama.
Ditinjau
dalam cara berpikir manusia bahwa ada dua pola untuk memperoleh pengetahuan,
yang pertama adalah berpikir secara rasional. Paham rasionalisme ini
berdasarkan pada ide kebenaran yang sudah ada dan pikiran manusia dapat
mengetahui ide kebeneran tersebut, namun hanya saja manusia tidak menciptakan
hasil kebenaran tersebut.
Dengan
kata lain bahwa ide tentang kebenaran yang menjadi dasar bagi pengetahuannya
diperoleh lewat berpikir rasional dan terlepas dari pengalaman manusia. yang
kedua adalah pola berpikir secara emipirisme, menurut pola pikir empiris
pengetahuan ini tidak ada secara apriori di benak kita, melainkan harus
diperoleh dari pengalaman.
Gabungan
antara pendekatan rasional dan empiris dinamakan metode keilmuan. Rasionalisme
memberikan kerangka pemikiran yang sistematis dan logis. Sedangkan empirisme
kerangka pengujian. Dalam memastikan suatu kebenaran, kedua metode ini
dipergunakan secara dinamis untuk menghasilkan pengetahuan yang konsisten dan
sistematis serta dapat diandalkan.
Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik dan buruk, dan si pemilik ilmu pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap, jalan mana yang akan ditempuh untuk memanfaatkan kekuasaan besar itu terletak pada si pemilik pengetahuan tersebut. Dengan kata lain bahwa netralitas ilmu itu terletak pada epistemologinya dalam artian ilmu tidak berpihak kepada siapa pun selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap.
