Dalam beberapa tahun terakhir, Sebagian masyarakat dibuat keheranan dengan suatu fenomena yang tidak sewajarnya terjadi. Kementerian Agama (selanjutnya Kemenag) yang sejatinya memiliki tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama untuk membantu Presiden, justru menjadi tempat beberapa oknum di dalamnya terjerat kasus korupsi.
Di negara yang
berlandaskan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi praktik korupsi justru
terjadi di berbagai sektor, salah satunya lembaga keagamaan. Masyarakat tentu
paham bahwa Kemenag sebagai lembaga keagamaan seharusnya menjadi pihak yang
dapat dipedomani terkait nilai-nilai keagamaan dan integritas. Namun realita
yang terjadi, seolah tak pernah usai, selalu ada oknum-oknum baru dalam tubuh
kemenag yang diduga atau bahkan telah dijadikan tersangka terkait kasus
kejahatan korupsi.
Tentu belum kering
dari ingatan masyarakat bagaimana pada tahun 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menetapkan Menteri Agama saat itu, Suryadharma Ali, sebagai tersangka
atas kasus korupsi penyelenggaraan haji tahun 2010-2013. Selain korupsi dana
penyelenggaraan haji, Suryadharma juga terbukti menggunakann Dana Operasional
Menteri (DOM) untuk keperluan pribadinya. Tidak tanggung-tanggung, DOM yang
digunakan olehnya diperkirakan mencapai 1,8 miliar rupiah. Atas dasar hal
tersebut, Ia diganjar hukuman kurungan 10 tahun penjara. Beralih dari informasi
tersebut, masih berkutat pada fenomena korupsi di kemenag, beberapa hari lalu
Inspektur Jenderal Kemenag mendapat panggilan pemeriksaan yang diajukan oleh
KPK. Yang bersangkutan sedianya akan diperiksa sebagai saksi kasus dugaan
korupsi pengadaan APD Covid-19 di Kementerian Kesehatan, namun Irjen Kemenag
tersebut mangkir dari pemeriksaan KPK. Kemudian tidak terdapat kabar pasti
terkait kelanjutan kasus tersebut.
Melihat fenomena
korupsi yang terjadi dalam tubuh Kemenag, sebelumnya kita perlu mengingat bahwa
Karl Marx pernah berpendapat, kritik seharusnya bukan dilancarkan ke agama,
tetapi harus dilanjutkan dan diarahkan terhadap masyarakat pemeluk agama.
Kemudian agaknya perkataan Karl Marx bahwa “Agama adalah candu” mungkin benar
adanya. Perlu digarisbawahi bahwa masyarakat yang menjadikan agama sebagai
candu terdiri setidaknya menjadi dua kutub besar.
Pertama, adalah
masyarakat kelas atas yang menjadikan agama sebagai dalil sesuai dengan
kepentingannya untuk meraih keuntungan pribadi. Kedua, adalah masyarakat kelas
bawah yang menjadikan agama sebagai pelarian atas ungkapan penderitaan yang
mendalam ulah masyarakat sebagai pertama kita sebutkan tadi. Sangkaan Marx
tersebut relevan untuk diarahkan kepada masyarakat sebagaimana disebutkan
pertama, yaitu mereka yang menjadikan agama sebagai dalil sesuai dengan
kepentingannya, salah satu dari mereka biasa kita sebut sebagai koruptor, yang
gemar memancing di air yang keruh. Mereka itu telah kecanduan menipu masyarakat
awam dengan mengemukakan alasan-alasan yang sekiranya justru membuat masyarakat
bingung, bahkan berselisih paham terkait hukum keagamaan. Sebaliknya, untuk
masyarakat yang tertindas, agama dijadikan sebagai pemberi harapan bahwa di
kehidupan setelah mati akan ada kehidupan yang lebih baik.
Dalam perspektif
Materialisme Marx, fenomena korupsi yang terjadi di Kemenag bisa diduga sebagai
hasil dari struktur ekonomi dan sosial yang menciptakan ketidaksetaraan. Bisa
kita pahami bahwa korupsi yang muncul adalah konsekuensi logis dari hal yang
disebut Marx sebagai ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan kekuasaan.
Kemudian dengan perspektif Marx, kita bisa menyoroti bagaimana sistem
Kapitalisme dapat menjadi pemicu adanya tindak korupsi di tubuh lembaga-lembaga
pemerintahan, dalam hal ini salah satunya adalah Kemenag. Adanya kesenjangan
antara pemegang kekuasaan dan masyarakat, terutama dalam bidang ekonomi, dapat
menghasilkan suatu siklus kehidupan yang rentan terhadap praktik korupsi.
Kemudian kita juga
perlu melihat fenomena korupsi di tubuh Kemenag ini dari sudut pandang filsuf
Eksistensialisme, yaitu Soren Kierkegaard. Kierkegaard mengemukakan bahwa hanya
manusia yang bereksistensi. Kemudian Ia melanjutkan bahwa cara manusia
bereksistensi harus melalui sikap-sikap yang disebutnya sebagai sikap estetis,
etis, dan religius. Pada sikap estetis, Kierkegaard menyatakan setiap manusia
memiliki kebebasan untuk memilih. Tentu pada sikap ini, kita tidak bisa
menyalahkan tindak korupsi karena menurut Kierkegaard adalah manusia sangat
bebas. Manusia hidup dihadapkan pada pilihan-pilihan dan harus memilih. Tetapi
ketika memasuki sikap etis, perilaku korupsi oleh oknum kemenag jelas
dipersalahkan. Pada tahap sikap etis, manusia tidak lagi bebas memilih, tetapi
mulai memasuki kaedah-kaedah moral dan menerima suara hati. Singkatnya adalah
perilaku korupsi bisa dilihat sebagai hasil dari ketiadaan tanggung jawab moral
manusia-manusia di dalamnya. Korupsi terjadi ketika seorang manusia mengabaikan
apa yang dituangkan Kierkegaard sebagai sikap etis.
Pada tahap sikap
religius, sedikit berbeda pembahasan dengan sikap estetis dan sikap etis. Sikap
religius, menurut Kierkegaard, adalah ketika manusia sudah percaya kepada
Tuhan. Tetapi, diperlukan sikap percaya kepada Tuhan berdasarkan pergumulan
kita terhadap yang kita percayai itu. Kierkegaard mengemukakan bahwa Tuhan
adalah suatu kedekatan. Kritiknya tertuju terhadap manusia yang hanya sepintas
tahu tentang agama, berpikir tentang agama, dan berbicara tentang agama.
Ini kemudian relevan
jika kita lihat bagaimana oknum-oknum dalam tubuh Kemenag sebagai yang dikenal
banyak berpikir dan berbicara tentang agama, justru terjerat kasus korupsi.
Jelas perbuatan korupsi adalah bukti tidak adanya kedekatan sang pelaku dengan
Yang ia percayai itu. Untuk menutup pembahasan Kierkegaard, perlu kita tahu
bahwa Kierkegaard sangat anti kepada akal. Dalam artian bukan anti terhadap
penggunaan akal, tetapi anti terhadap penyalahgunaan akal untuk menipu atau
menyulap ‘yang buruk akan terlihat baik’ dalam kehidupan bermasyarakat.
Begitu kiranya sekelumit analisis dengan perspektif Karl Marx dan Kierkegaard dalam memandang fenomena korupsi dalam tubuh Kemenag. Kedua perspektif tersebut tentu memberikan argumen yang berbeda terkait dengan fenomena korupsi di lembaga seperti Kemenag. Materalisme Marx menekankan faktor struktural ekonomi dan sosial, sementara Eksistensialisme Kierkegaard lebih menyoroti dimensi moral dan tanggung jawab individu. Oleh karena itu, dengan mengintegrasikan kedua pandangan tersebut, tentunya kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam serta menyeluruh tentang permasalahan keagamaan seperti korupsi yang terjadi di tubuh Kementerian Agama Republik Indonesia.
