Ketindihan
merupakan fenomena yang cukup menarik perhatian publik. Hal ini karena fenomena
ketindihan sangat banyak ditemukan di setiap masyarakat umum. Fenomena
ketindihan memang sedang hangat diperbincangkan oleh banyak orang dan muncul
pertanyaan-pertanyaan serta rasa penasaran pada pikiran masyarakat mengenai
fenomena ketindihan ini.
Pada
sebagian masyarakat, fenomena ketindihan selalu dikaitkan oleh hal-hal berbau
supranatural dan fenomena ketindihan selalu dikaitkan dengan hal-hal yang
mistis. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan mengenai fenomena ketindihan
dalam perspektif psikologi dan Islam.
Selain
itu, menurut Potter & Perry tidur dapat meningkatkan konsentrasi dan
kemampuan seseorang dalam melakukan sebuah aktivitas sehari-hari. Oleh karena
itu, penting bagi seseorang untuk memiliki pola tidur yang teratur dan baik.
Namun, adanya aktivitas yang padat, tuntutan yang berat, stress, dan hal
lainnya menyebabkan banyak orang merelakan waktu tidurnya untuk melakukan
aktivitas tersebut dan mengganti tidurnya di waktu yang lain. Hal inilah yang
membuat kekacauan dalam tidur seseorang. Kekacauan ini sangat berpengaruh besar
dalam kehidupan sehari-hari, terutama berpengaruh pada kualitas tidur
seseorang. Saat ini, banyak sekali kasus mengenai fenomena ketindihan dalam
masyarakat yang hampir semua orang pernah mengalaminya.
Fenomena
ketindihan ini dapat dikatakan sebagai salah satu gangguan tidur. Menurut American
Psychiatric Association, gangguan tidur merupakan suatu gangguan dimana
seseorang mengalami kekacauan pada pola tidur normalnya yang dapat menyebabkan
distress dan disfungi tubuh pada siang hari serta gangguan ini dapat dialami
oleh siapapun. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Perry dan Potter menyatakan
bahwa terdapat beberapa gangguan tidur yang paling sering terjadi, yaitu apnea,
parasomnia, hipersomnia, dan sleep paralysis. Penelitian yang dilakukan
Mume & Ikem mengungkapkan bahwa terdapat 30%-50% seseorang mengalami
setidaknya satu kali episode sleep paralysis dalam hidup mereka.
Fenomena ketindihan ini dapat disebut sebagai sleep paralysis atau
kelumpuhan tidur. Namun, ada banyak sekali perbedaan yang cukup jauh pada
persepsi dan pemahaman diantara masyarakat mengenai fenomena sleep paralysis
yang masih hangat untuk dibahas pada hal ini.
Pada
saat seseorang tertidur, terdapat beberapa gelombang tidur. Menurut Perry dan
Potter tidur dapat dibagi menjadi 4 tahap dimana semakin naik ke tahap tidur
semakin nyenyak tidurnya, yaitu:
1. NREM
(non rapid eye movement) 1, yaitu tahap tidur yang paling ringan. Pada
tahap ini, aktivitas mata dan otot akan mulai melambat dan bersiap untuk tidur
nyenyak atau relaksasi dan seseorang bisa terbangun dengan mudah pada tahap
ini.
2. NREM
(non rapid eye movement) 2, yaitu tahap tidur yang lebih dalam.
3. NREM
(non rapid eye movement) 3, yaitu tahap tidur yang paling dalam. Pada
tahap ini, pernafasan dan detak jantung akan melambat, gerakan mata dan otot
akan berhenti total pada saat ini. Selain itu, pada tahap inilah terjadinya
proses pemulihan tubuh dan biasanya tahap ini dapat disebut sebagai deep
sleep atau tertidur dengan pulas.
4. REM
(rapid eye movement), yaitu tahap terakhir dalam tidur, dimana mimpi itu
terjadi.
Menurut
Cheyne, Sleep Paralysis terjadi ketika seseorang terbangun secara
tiba-tiba dan sadar sebelum siklus tidur REM berakhir sehingga mengalami
kesulitan dalam bergerak dan berbicara. Pada tahap ini, saraf neurotransmitter
yang bernama “glisin” dapat memicu sleep paralysis dalam tubuh yang
mengakibatkan otot-otot tidak dapat digerakkan kecuali otot involunter (otot
jantung dan paru). Selain itu, menurut The American Sleep Disorder
Association, sleep paralysis dapat terjadi ketika seseorang berada
pada tidur paling dalam disaat semua otot pada anggota tubuh sedang relaksasi.
Jadi, saat tidur pada kondisi tersebut tubuh seseorang memang tidak dapat
bergerak karena otot-otot tubuh sedang dalam relaksasi, tapi otak masih tetap
memproduksi mimpi-mimpi. Namun, sleep paralysis tidak memengaruhi
gerakan pada mata, terbukti saat orang-orang sedang mengalami sleep
paralysis mereka masih dapat melihar sekitaran mereka.
Menurut
Cheyne terdapat ciri-ciri seseorang mengalami gangguan tidur ini, yaitu ciri
fisik dan halusinasi. Seseorang yang sedang mengalami gangguan ini akan
merasakan bahwa tubuhnya tidak dapat bergerak, tidak dapat berbicara apapun,
tidak bisa bernafas dengan normal, merasa sesak, dan merasa seperti sedang
tercekik oleh sesuatu. Sedangkan, seseorang yang sedang mengalami sleep
paralysis akan mengalami halusinasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Rahayu, mengemukakan bahwa ketika
mengalami sleep paralysis, seseorang akan merasakan kedua matanya yang
susah untuk dibuka, kesulitan dalam bergerak, mengalami kesulitan dalam
berbicara, merasa ada yang memegang tangan, merasa seperti ada yang datang, dan
merasa sesak.
Pada hal ini, banyak masyarakat umum juga mengungkapkan bahwa saat mereka mengalami sleep paralysis terkadang mereka akan mendengar suara aneh, melihat sosok hitam, melihat hantu, melihat sosok bayangan hitam melayang-layang diatas, dan sebagainya. Kebanyakan masyarakat akan mengaitkan hal ini dengan mistis, padahal halusinasi yang terjadi ada alasan ilmiahnya. Menurut Cheyne, sosok-sosok bayangan atau hantu yang terjadi pada saat mengalami sleep paralysis merupakan halusinasi dari mimpi yang terjadi pada tahap REM. Jadi, adanya sleep paralysis ini bukan kerena ada hal mistis saja, seperti legenda yang terjadi pada masyarakat Scandinafia yang mengungkapkan bahwa sleep paralysis adalah perbuatan makhluk kecil bernama “MARE” atau pada suku Eskimo di Alaska mengungkapkan bahwa ketindihan terjadi karen roh manusia yang tidak bisa kembali lagi ke tubuhnya. Adanya hal ini, masih banyak orang yang menganggap bahwa sleep paralysis ini karena hantu atau mistis. Padahal ada penelitian ilmiahnya yang mengungkapkan fenomena mengenai sleep paralysis.
Gangguan tidur sleep paralysis juga terjadi karena beberapa faktor yang memengaruhinya, seperti kacaunya kualitas dan kuantitas (pola tidur) pada seseorang, PTSD, bipolar, stres, dan kecemasan. Selain itu, menurut Culebras sleep paralysis dapat terjadi karena kurangnya durasi waktu tidur, posisi tidur yang terlentang, terdapat gangguan tidur narkolepsi, menyalaggunakan obat-obat, dan zat kimia. Hal ini juga didukung oleh penelitian dari Vaughans bahwa stres juga dapat memengaruhi kualitas tidur yang nantinya akan menyebabkan gangguan tidur sleep paralysis. Biasanya saat seseorang mengalami stress atau kecemasan akan mengakibatkan seseorang tersebut tidak fokus dan sulit tidur di malam hari. Gelombang otak juga tidak bisa mengikuti tahapan tidur yang seharusnya sehingga bisa mengakibatkan terjadinya sleep paralysis. Selain itu, menurut Larasaty, sleep paralysis juga dapat dikatakan sebagai tanda-tanda serangan tidur mendadak tanpa tanda-tanda mengantuk (narcolepsy), mendengkur (sleep apnea), kecemasan, dan depresi.
Namun, gangguan tidur sleep paralysis dapat diatasi dengan pola hidup dan pola tidur yang teratur, mengurangi rasa stress dan kecemasa, serta tidak menyalahgunakan obat-obatan dan zat-zat kimia. Akan tetapi, jika gangguan sleep paralysis tetap tidak kunjung selesai, maka disarankan untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater yang nantinya akan ada terapi dan obat khusus untuk mengurangi gangguan tidur sleep paralysis.
