![]() |
| Photo by Markus Winkler on Unsplash |
Banyak yang menganggap pertumbuhan ekonomi tinggi
sebagai indikator positif bagi suatu negara. Biasanya, saat mendengar target
ambisius dari presiden yang mengarah pada percepatan ekonomi, kita langsung
mengaitkannya dengan harapan peningkatan kesejahteraan. Namun, apakah benar
demikian? Di sini, penting untuk membedah lebih dalam apakah pertumbuhan
ekonomi yang tinggi benar-benar mencerminkan kesejahteraan masyarakat luas atau
justru sebaliknya.
Selama ini, Produk Domestik Bruto (PDB) sering
dipakai sebagai indikator utama pertumbuhan ekonomi. Ia memang menggambarkan
output ekonomi negara, tetapi sangat berfokus pada aspek produksi, konsumsi,
dan pendapatan saja. Abhijit Banerjee dan Esther Duflo dalam Good Economics
for Hard Times (2019) menunjukkan bahwa angka PDB yang tinggi tidak
otomatis meningkatkan kesejahteraan. PDB ini cenderung tidak memperhitungkan
dampak negatif dari berbagai kegiatan ekonomi seperti ketimpangan sosial, atau
bahkan kerusakan lingkungan.
Misalnya saja di Indonesia, menurut publikasi dari Bank Dunia
(2015), pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada mayoritasnya hanya dinikmati oleh
20% lapisan masyarakat terkaya, sementara sisanya harus struggling lebih
keras hanya untuk sekadar mengikuti arus. Fenomena ini tampak dalam data indeks
Gini Indonesia yang menunjukkan peningkatan ketimpangan dari 29,5 pada tahun 2000
menjadi 38,3 di tahun 2023. Artinya, semakin tinggi angka indeks, semakin besar pula
ketimpangan yang terjadi. Ketimpangan yang besar ini pada akhirnya berisiko
menurunkan kualitas kesejahteraan sosial secara menyeluruh karena tidak adanya
pemerataan manfaat dari pertumbuhan tersebut.
Di sinilah muncul perdebatan mengenai bagaimana
dampak pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kesejahteraan. Pada umumnya,
peningkatan produksi skala besar, terutama yang sangat bergantung pada
eksploitasi sumber daya alam, akan bertentangan dengan konsep keberlanjutan.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat sering kali berarti lebih banyak sumber daya
alam yang dieksploitasi secara habis-habisan, lebih banyak polusi yang
dilepaskan, serta lebih banyak lahan yang diubah menjadi fasilitas industri
atau infrastruktur. Tim Jackson dalam Prosperity Without Growth (2009)
mengkritik terhadap konsep pertumbuhan ekonomi tinggi sebagai satu-satunya
solusi kesejahteraan. Seraya mempertanyakan apakah kesejahteraan yang sejati
bisa dicapai melalui ekspansi ekonomi tanpa batas? Konsep degrowth economics
bahkan menyerukan agar negara berani meninjau ulang ambisi PDB yang
besar-besaran dengan mempertimbangkan batasan ekologi dan menjaga keterbatasan
sumber daya.
Dalam beberapa kasus, usaha meningkatkan PDB malah
merugikan masyarakat. Misalnya, proyek ekspansi sawit di Papua, yang mungkin
memang meningkatkan output ekonomi nasional, namun justru mengancam hutan adat
yang sangat berarti bagi masyarakat setempat. Bagi mereka, hutan adalah tempat
bergantung yang punya nilai budaya tinggi. Sekalipun masyarakat adat menerima
manfaat finansial dari proyek tersebut, apakah ini bisa disebut kesejahteraan
jika mereka harus kehilangan identitas dan ruang hidupnya?
Tantangan lain dari mengejar pertumbuhan ekonomi
tinggi adalah bahwa kebijakan yang diterapkan bisa saja tidak efektif dalam
meningkatkan taraf hidup masyarakat luas. Pemerintah kita, misalnya, saat ini
sedang mendorong hilirisasi sumber daya alam sebagai salah satu strategi utama.
Hilirisasi bisa meningkatkan ekspor dan daya saing, tetapi investasi yang masuk
sering kali padat modal, bukan padat karya. Artinya, lapangan kerja yang
tercipta relatif sedikit. Di sisi lain, hilirisasi yang tidak memperhatikan
dampak lingkungan justru bisa mengarah pada degradasi ekosistem.
Realitas ini menggarisbawahi pentingnya
mendekonstruksi pertumbuhan ekonomi sebagai indikator tunggal kesejahteraan.
Mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan hasil hanya akan meningkatkan
konsumsi kalangan kaya, yang pada akhirnya mengerek harga barang secara
keseluruhan. Akibatnya, banyak orang yang tidak merasakan manfaat dari
pertumbuhan tersebut justru harus menanggung beban inflasi yang menurunkan daya
beli mereka. Jika pendapatan hanya naik untuk segelintir orang dan harga barang
terus merangkak naik, tentunya ini tidak adil dan justru menambah beban
masyarakat berpenghasilan rendah.
Jadi, solusi seperti apa yang bisa diterapkan?
Salah satu pendekatan yang mulai dilirik adalah paradigma post-growth
yang menekankan pentingnya kesejahteraan masyarakat tanpa harus bergantung pada
pertumbuhan ekonomi yang masif. Tujuannya adalah menciptakan ekonomi yang lebih
berkelanjutan dan adil, dengan fokus pada pemerataan dan peningkatan kualitas
hidup, bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi secara konstan. Fokus pada
pemerataan dan keberlanjutan seperti ini lebih relevan dalam konteks dunia yang
sumber dayanya semakin terbatas.
Menurut Kate Raworth dalam bukunya Doughnut Economics
(2017), ekonomi yang sehat harus bisa berjalan dalam batas-batas lingkungan dan
sekaligus memastikan kesejahteraan dasar terpenuhi untuk semua orang. Artinya,
kita perlu redefinisi konsep kesejahteraan. Bukan lagi cuma soal pertumbuhan
dan PDB, tapi lebih ke bagaimana kita bisa meningkatkan kualitas hidup dengan
sumber daya yang ada.
Negara-negara seperti Bhutan bahkan sudah mulai
meninggalkan PDB sebagai indikator utama dan beralih ke indeks kebahagiaan
nasional (Gross National Happiness). Bagi mereka, indikator ekonomi bukan cuma
soal angka pendapatan negara, tapi juga kesehatan, kebahagiaan, dan
keberlanjutan. Ini jadi contoh bagaimana sebuah negara bisa tetap punya
kebijakan ekonomi yang memperhatikan aspek sosial dan ekologi, bukan sekadar
mengejar angka.
Intinya, mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi tentu
tidak keliru, namun harus disertai dengan visi yang lebih luas tentang
kesejahteraan. Jika tidak, kita hanya akan terjebak pada siklus yang sama, lapisan
masyarakat tertentu menikmati kemakmuran, sementara yang lain terus tertinggal.
