Mengurai Konflik Agraria: Ketimpangan, Perebutan Lahan, dan Keadilan Sosial


Konflik agraria di Indonesia merupakan isu yang kompleks dan meluas, yang dipengaruhi oleh faktor sejarah, politik, ekonomi, dan sosial. Konflik ini terutama berakar pada sengketa kepemilikan, penggunaan, dan pengelolaan lahan, sering kali mempertemukan masyarakat lokal dengan korporasi, pemerintah, atau keduanya. Terutama di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang memiliki catatan terburuk mengenai konflik agraria.

Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah kasus konflik agraria terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2023, tercatat 241 konflik agraria yang melibatkan lahan seluas 638,2 ribu hektare dan berdampak pada lebih dari 135 ribu keluarga. Konflik terbanyak terjadi di sektor perkebunan (108 kasus), properti (44 kasus), tambang (32 kasus), serta proyek infrastruktur (30 kasus)​

Selama periode 2015–2021, tercatat bahwa konflik agraria mengalami lonjakan pesat. KPA melaporkan 2.288 kasus konflik agraria di seluruh Indonesia sepanjang periode tersebut, dengan luas lahan yang terlibat mencapai lebih dari 4,5 juta hektare.

Salah satu janji besar pemerintahan Jokowi adalah reforma agraria, yang bertujuan untuk redistribusi tanah kepada petani kecil dan masyarakat adat. Pada 2018, Jokowi menetapkan target untuk mendistribusikan 9 juta hektare tanah kepada masyarakat melalui program reforma agraria dan perhutanan sosial. Namun sayangnya implementasi program ini masih menghadapi banyak kendala, dan distribusi tanah sering kali tidak mencapai sasaran​.

Hingga tahun 2022, sekitar 4,7 juta hektare lahan telah diserahkan melalui program perhutanan sosial, namun redistribusi tanah masih lambat dan banyak masyarakat yang terdampak oleh proyek infrastruktur besar dan ekspansi perkebunan.

Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diinisiasi selama masa Jokowi menjadi salah satu sumber utama konflik agraria. Beberapa proyek seperti pembangunan kawasan industri di Rempang, pengembangan wilayah pariwisata di Mandalika, dan pembangunan bendungan di Wadas telah memicu perlawanan dari masyarakat lokal yang menolak digusur dari tanah mereka​. Banyak warga yang menolak penggusuran kemudian mengalami kriminalisasi, seperti yang terjadi di Wadas dan Rempang pada 2023.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit selama masa Jokowi juga menjadi sumber utama konflik agraria, terutama di Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Perusahaan sawit sering kali mengklaim lahan masyarakat adat tanpa melalui prosedur yang transparan, dan kriminalisasi petani sawit juga terjadi, seperti yang dilaporkan di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah​. Ekspansi ini berdampak pada perampasan tanah, deforestasi, serta hilangnya mata pencaharian bagi masyarakat lokal.

Pada tahun 2023, konflik yang menonjol adalah yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, serta Papua. Konflik agraria di Rempang berkaitan dengan pengembangan proyek Rempang Eco City, bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus yang didorong oleh pemerintah untuk menarik investasi besar. Warga adat menolak relokasi paksa yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat keamanan. Bentrokan antara warga dan aparat pun terjadi pada 2023, di mana penggunaan gas air mata terhadap warga termasuk anak-anak memicu kecaman publik luas​. Akibat konflik ini, lebih dari 2.000 warga terancam tergusur, dan proses relokasi yang dipaksakan memicu perlawanan warga, di mana warga merasa hak-hak mereka diabaikan. Masalah ini masih berlangsung hingga 2024, dengan warga yang tetap bersikukuh mempertahankan tanah adat mereka, sementara aparat dan pemerintah terus berupaya menjalankan proyek tersebut.

Salah satu aspek yang sangat problematis dalam penanganan konflik ini adalah kurangnya transparansi dan musyawarah yang menyeluruh dengan masyarakat setempat. Meskipun pemerintah mengklaim telah melakukan sosialisasi dan menyediakan relokasi serta kompensasi yang sesuai, banyak warga tetap menolak proyek tersebut karena merasa hak-hak historis mereka atas tanah tidak diakui. Warga Pulau Rempang sudah mendiami lahan tersebut sejak tahun 1834, dan sampai hari ini, legalitas tanah mereka belum diakui secara formal oleh negara, dan menganggap proyek ini sebagai bentuk perampasan tanah yang mengabaikan hak-hak mereka.​

Lebih mengherankannya lagi, proyek ini menunjukkan paradoks dalam kebijakan pemerintah Jokowi, yang di satu sisi mempromosikan reforma agraria, tetapi di sisi lain justru melakukan pengambilalihan lahan untuk PSN dengan menggunakan kekuatan negara. Ini bukan hanya tentang konflik lokal, tetapi mencerminkan bagaimana negara sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan kepentingan agraria demi kepentingan investasi dan pertumbuhan ekonomi yang serba instan​.

Selain kasus yang terjadi di Rempang, kasus serupa juga terjadi di Papua, konflik agraria di Papua seringkali terkait dengan eksploitasi sumber daya alam dan perebutan lahan untuk perkebunan serta proyek tambang. Pada 2024, beberapa wilayah di Papua menghadapi masalah serupa, di mana masyarakat adat sering kali terpinggirkan akibat proyek-proyek besar yang didukung oleh pemerintah.

Laporan dari Yayasan Pusaka menunjukkan bahwa dampak lingkungan akibat proyek sawit di Papua pada tahun 2024 mencapai angka yang mengkhawatirkan. Kerusakan lingkungan ini ditaksir sebesar Rp 96,63 triliun, sementara kontribusi ekonomi dari sektor perkebunan sawit hanya sekitar Rp 17,64 triliun. Provinsi Papua Selatan mencatat kerugian lingkungan terbesar, yakni Rp 37,7 triliun. Selain sawit, proyek-proyek lain seperti Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) terus mengganggu keseimbangan ekologi di wilayah tersebut​.

Menurut data terbaru dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hingga 2024, setidaknya 687 konflik agraria tercatat di wilayah adat di Papua, yang mencakup 11,07 juta hektare lahan​. Konflik agraria di Papua tidak hanya melibatkan perkebunan sawit tetapi juga proyek infrastruktur dan pertambangan yang mengakibatkan penggusuran masyarakat adat. Di wilayah suku Awyu dan Moi, ribuan hektare hutan adat diambil alih tanpa melalui proses konsultasi yang layak, menyebabkan konflik antara warga dan pihak perusahaan​.

Proyek food estate di Papua yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan justru berakibat pada kerawanan pangan di beberapa komunitas adat. Masyarakat yang sebelumnya menggantungkan hidup dari hasil hutan dan pertanian lokal kehilangan akses terhadap tanah dan sumber daya alam. Ini memperburuk situasi stunting dan kemiskinan di Papua, yang sudah berada pada tingkat tertinggi secara nasional. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan di Papua mencapai 27,53% pada 2023, jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya​.

Konflik ini juga mencerminkan kesenjangan besar dalam proses pengambilan keputusan, di mana masyarakat lokal jarang dilibatkan dalam negosiasi tanah mereka. Data terbaru menunjukkan bahwa masyarakat adat terus mengalami ketidakadilan struktural akibat perampasan lahan yang sering tidak diiringi dengan kompensasi atau solusi yang layak. Proyek besar cenderung dipaksakan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap budaya dan lingkungan. Kriminalisasi terhadap aktivis masyarakat adat dan petani yang menolak proyek-proyek ini juga semakin menambah kompleksitas konflik​.

Solusi yang lebih menyeluruh dan berkeadilan perlu segera dilakukan. Pendekatan yang lebih inklusif, dengan menghormati hak-hak masyarakat adat dan melakukan konsultasi terbuka sebelum proyek dimulai, sangat penting untuk mencegah konflik yang lebih luas di masa mendatang. Pemerintah juga harus mengedepankan upaya penyelesaian konflik agraria dengan cara yang lebih adil, bukan sekadar memfasilitasi kepentingan korporasi besar.

Lebih baru Lebih lama